CARA SETTING MODEM ADSL


  1. Setting modem dapat dilakukan melalui browser diantaranya dengan mengakses alamat http://192.168.1.1, http://10.0.0.2 atau melalui CD installer sesuai dengan buku manualnya.
  2. Setelah masuk ke menu setting maka masukkan parameter berikut :
    VPC Configuration :
    VCI = 35
    VPI = 0
    Service Category = UBR Without PCR
    Connection type = PPPoE
    Encapsulation = LLC
Cara melakukan setting di komputer untuk akses ke layanan SPEEDY.
Untuk setting di komputer dilakukan sesuai dengan operating system yang dipakai di komputer pelanggan, disini yang dibahas khusus untuk Windows XP.
1. Lakukan network setting di PC (computer) sbb :
a. Start – Control Panel – Network Connection, sehingga keluar menu berikut ini :

Arahkan kursor pada Local Area Connection yang aktif, kemudian klik kanan dan pilih properties.
b. kemudian pilih menu Internet Protocol (TCP/IP) dan klik 2X, maka akan muncul menu General.
c. Pilih Obtain an IP Address Automatically kemudian pilih Use the Following DNS Server Addresses dan isikan nomor IP nya dengan 202.134.1.10 pada Preferred DNS Server, dan untuk alternate DNS server isi dengan 202.134.0.155 kemudian tekan tombol OK.
2. Setting di windows XP sudah selesai dilakukan.
3. Kemudian lakukan setting modem sesuai merk dan jenis modem ADSL yang telah dipilih (lihat buku petunjuk operasional modem masing-masing atau hubungi technical support merk modem yang bersangkutan). Pada saat akan melakukan koneksi ke jaringan SPEEDY, isikan username dan password yang tercetak di SPEEDY-Broadband card.
Cara melakukan instalasi Modem ADSL untuk SPEEDY.
Panduan instalasi modem ini digunakan pada instalasi awal koneksi ke SPEEDY. Saat ini modem ADSL yang dijual di pasaran ada 2 macam yaitu menggunakan kabel USB dan Ethernet.
Berikut langkah-langkah instalasi modem sesuai dengan kabel koneksi yang digunakan.
A. Instalasi modem menggunakan kabel USB.
Lakukan pengecekan kelengkapan buku manual dan CD installer, ketika membeli modem. CD installer umumnya disertakan pada modem yang menggunakan kabel USB.
  • Masukkan CD Installer
  • Ikuti petunjuk yang tampil di window sampai selesai.
  • Kemudian hubungkan kabel USB ke PC.
    Selanjutnya PC akan mendeteksi adanya hardware baru dan siap digunakan.
Panduan instalasi Dial Up koneksi ADSL menggunakan Windows 2000:
1. Klik Start, klik Setting,klik Control Panel,
2. Klik Network and Dial Up Connections.
3. Klik Make New Connection, klik Next,
4. Klik Dial Up to the Internet
5. Klik I want to setup my internet manually, klik Next
6. Klik I connect through a phone line and a modem klik Next. Pilih dan klik modem ADSL yang sesuai
8. Isi username : 15xxxxxxxxxx@telkom.net
9. Password : *******
10. Klik OK dan Lanjutkan sesuai perintah yang muncul
11. Klik Finish
Panduan instalasi Dial Up koneksi ADSL menggunakan Windows Xp:
1. Klik Start, klik Setting, klik Control Panel.
2. Klik Network Connection
3. Klik Create a New Connection, klik Next.
4. Klik Connect to the Internet, klik Next
5. Klik Setup my connection manually, klik Next
6. Klik Connect Using Dial Up, klik Next
7. Klik modem ADSL yang sesuai, klik Next
8. Isi username : 15xxxxxxxxxx@telkom.net
Password : *******
9. Confirm password : *******
10. kemudian beri tanda √ pada pilihan “Add a shortcut to the desktop screen”
11. Klik Finish
B. Instalasi modem menggunakan kabel Ethernet.
  1. Lakukan pengecekan kelengkapan komponen modem seperti modem, power supply dan adaptor, petunjuk pemakaian, CD installer (bila ada), dan kabel-kabel untuk koneksi ke modem, PC serta line (jaringan telepon).
  2. Sambungkan kabel ethernet dari modem ke PC.
  3. Untuk setting Pilih IPDHCP untuk mendapatkan IP dari modem, dengan cara :
  • Klik Start, klik Setting, klik Control Panel
  • Klik Network and Dial Up Connection
  • Klik kanan Local Area Connection
  • Klik Disable, Klik kanan Local Area Connection, Klik Properties
  • Klik Internet Protocol (TCP/IP)
  • Klik Obtain an IP address automatically
  • Klik Obtain DNS server address automatically, klik tombol OK dua kali (2x)
  • Klik kanan Local Area Connection
  • Klik Enable
4. Lakukan pengecekan IP dengan Klik Start, klik Run, Klik cmd, Klik OK
5. Lakukan browsing ke IP modem ADSL : 10.0.0.2 atau 192.168.x.x (optional tergantung tipe modem)
6. Lakukan pengecekan saluran modem, dengan cara Ping 10.0.0.2 atau 192.168.x.x
7. Koneksi antara modem dengan PC sudah berjalan normal, dilanjutkan melakukan konfigurasi modem ADSL, dengan cara:
  • Buka Internet Explorer atau browser lainnya.
  • Ketik alamat http://10.0.0.2 atau http://192.168.x.x (optional tergantung tipe modem)
  • Lakukan setting instalasi modem ADSL sesuai dengan buku manual
  • Parameter koneksi SPEEDY di Jawa Timur:

Adab-Adab Puasa


Adab-Adab Puasa : Adab-Adab Yang Bersifat Wajib

ADAB-ADAB PUASA : ADAB-ADAB YANG BERSIFAT WAJIB

Oleh
Dr.
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar



Puasa memiliki banyak adab atau tata krama, di mana ia tidak sempurna kecuali dengan mengerjakannya dan tidak juga lengkap kecuali dengan menjalankannya. Adab-adab ini terbagi menjadi dua bagian; adab-adab yang bersifat wajib, yang harus dipelihara dan dijaga oleh orang yang berpuasa. Dan adab-adab yang bersifat sunnah yang juga harus dipelihara dan dijaga olehnya. Berikut ini pembahasannya lebih lanjut.

Pembahasan 1
ADAB-ADAB YANG BERSIFAT WAJIB

1. Orang yang berpuasa harus menghindari kedustaan, karena hal itu termasuk amal yang haram dilakukan pada setiap saat, dan pada waktu puasa itu jelas lebih diharamkan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

"... Jauhilah oleh kalian perbuatan dusta, karena dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu menggiring ke Neraka. Dan seseorang itu masih akan terus berdusta dan terus berdusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." [1]

2. Hendaklah orang yang sedang berpuasa menghindari ghibah. Yakni seorang muslim menyebutkan apa-apa yang tidak disukai dari saudaranya ketika saudaranya itu sedang tidak bersamanya, baik yang disebutkannya itu apa yang tidak disukai dari penampilan atau akhlaknya, maupun yang disebutkannya itu memang benar adanya maupun tidak.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya..." [Al-Hujuraat: 12]

Pembaca yang budiman, adakah gambaran yang lebih buruk dari gambaran ini, di mana seseorang memakan daging orang yang sudah menjadi mayat? Sesungguhnya yang buta bukanlah mata tetapi hati yang ada di dalam dada. Dan ghibah itu haram dilakukan kapan pun, dan bagi orang yang sedang berpuasa, ghibah lebih diharamkan sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu.

3. Hendaklah orang yang sedang berpuasa juga menghindari namimah atau mengadu domba. Yakni tindakan seorang muslim menyampaikan ungkapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk merusak hubungan antara keduanya. Perbuatan ini termasuk perbuatan dosa besar, karena ia dapat merusak individu dan juga masyarakat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah." [Al-Qalam: 10-11]

Sedang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"Tidak akan masuk Surga orang yang suka mengadu domba." [2]

4. Hendaklah orang yang berpuasa juga menghindari tipu muslihat dan kecurangan dalam segala bentuk mu'amalah, baik itu jual beli, sewa-menyewa, maupun produksi, serta dalam semua selebaran dan pemberitaan. Sebab, tipu muslihat itu termasuk perbuatan dosa besar, karena ia merupakan penipuan sekaligus penanaman benih fitnah dan perpecahan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa menipu kami berarti dia bukan dari golongan kami." [3]

5. Hendaklah orang yang berpuasa juga menghindari kesaksian palsu, karena hal itu termasuk perbuatan yang bertentangan dengan puasa.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu :

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak memiliki kepentingan pada tindakannya meninggalkan makanan dan minumannya." [4]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (VIII/30) dan Shahiih Muslim (VIII/29))
[2]. HR. Al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (VIII/21) dan Shahiih Muslim (I/71))
[3]. HR. Muslim (I/69).
[4]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/24))


Adab-Adab Puasa : Adab-Adab Yang Bersifat Sunnah

ADAB-ADAB PUASA : ADAB-ADAB YANG BERSIFAT SUNNAH

Oleh
Dr.
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar



Puasa memiliki banyak adab atau tata krama, di mana ia tidak sempurna kecuali dengan mengerjakannya dan tidak juga lengkap kecuali dengan menjalankannya. Adab-adab ini terbagi menjadi dua bagian; adab-adab yang bersifat wajib, yang harus dipelihara dan dijaga oleh orang yang berpuasa. Dan adab-adab yang bersifat sunnah yang juga harus dipelihara dan dijaga olehnya. Berikut ini pembahasannya lebih lanjut.

Pembahasan 2
ADAB-ADAB YANG BERSIFAT SUNNAH

1. Mengakhirkan Sahur
Sahur berarti makan di akhir malam. Disebut sahur karena ia dilakukan pada waktu sahur. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah memerintahkan untuk makan sahur, di mana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada makan sahur itu terdapat keberkahan." [1]

Hendaklah seseorang berniat mengikuti perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sahurnya itu, sekaligus memperkuat puasanya agar sahur yang dilakukannya itu bisa menjadi ibadah. Dan hendaklah dia mengakhirkan sahur selama tidak khawatir terhadap terbit fajar, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melakukan hal ter-sebut.

Dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit, dia berkata: "Kami pernah makan sahur bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau berangkat menunaikan shalat, maka kami tanyakan, 'Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur?' Beliau menjawab, 'Sekitar (waktu yang cukup untuk membaca) lima puluh ayat..." [2]

2. Menyegerakan Berbuka Puasa
Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk menyegerakan berbuka jika matahari sudah benar-benar terbenam, dengan melihatnya langsung atau dengan memperkirakan hal tersebut, atau dengan terdengarnya adzan, karena adzan merupakan berita yang paling dapat dipercaya.

Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berbuka dengan kurma ruthab (kurma basah), jika tidak maka boleh dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada juga, maka hendaklah dengan meneguk air. Demikianlah yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

"Manusia ini akan senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa." [3]

Dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk memanjatkan do'a pada saat akan berbuka dengan do'a-do'a yang mudah diucapkannya, karena pada saat itu merupakan waktu dikabul-kannya do'a. Oleh karena itu, seorang muslim harus memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dari waktu-waktu ketaatan.

3. Menjaga Lisan dari Kata-Kata yang Tidak Bermanfaat
Orang yang berpuasa harus menjaga lisannya dari kata-kata yang tidak bermanfaat, karena lisan merupakan sumber dari banyaknya dosa. Orang-orang mukmin sebenarnya adalah yang selalu menghindari pembicaraan yang tidak berarti dan senantiasa menghiasi diri dengan adab-adab Islam dalam ucapan mereka.

Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman:

"Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. " [Al-Mu'-minuun: 3]

Selain itu, Dia juga berfirman:

"Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir." [Qaaf: 18]

Orang yang berpuasa harus mempuasakan (menahan) juga anggota tubuhnya dari segala macam perbuatan dosa, lisannya dari dusta, kata-kata keji, dan sumpah palsu, serta kata-kata yang tidak berarti. Juga mempuasakan perutnya dari makanan dan minuman, dan kemaluannya dari perbuatan keji. Kalau memang dia harus berbicara, maka dia akan berbicara dengan kata-kata yang tidak akan merusak puasanya. Jika dia berbuat maka dia akan berbuat hal-hal yang tidak akan merusak puasanya, sehing-ga yang keluar darinya adalah ucapan yang baik dan amal perbuatan yang shalih.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada setiap muslim yang berpuasa untuk menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan baik serta menjauhkan diri dari kata-kata dan perbuatan keji serta hina. Setiap muslim dilarang mengerjakan semua hal yang buruk tersebut di atas pada setiap saat, tetapi larangan itu lebih ditekan-kan lagi pada saat dia menjalankan ibadah puasa.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu :

"Puasa itu adalah perisai. Oleh karena itu, jika datang hari puasa, maka janganlah salah seorang di antara kalian melakukan rafats (berbicara kotor atau hubungan badan/jima') dan tidak juga membuat kegaduhan. Dan jika ada orang yang mencaci atau menyerangnya, maka hendaklah dia mengatakan, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa.'" [4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani rahimahullah mengatakan,"....Secara lahiriah, telah muncul musykilah (masalah) bahwa kata mufa'alah menuntut adanya perbuatan dari dua belah pihak. Orang yang berpuasa tidak akan muncul darinya perbuatan yang dapat memancing reaksi, khususnya pertikaian. Sedangkan yang dimaksud dengan mufa'alah adalah kesiapan untuk menanggapinya. Artinya, jika seseorang siap untuk melakukan penyerangan terhadapnya atau caci-maki terhadapnya, maka hendaklah dia mengatakan, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa.' Jika dia mengatakan hal tersebut, maka dimungkinkan baginya untuk menahan diri darinya (pertikaian) .....Apakah boleh dikatakan dengan ucapan: 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa,' kepada orang yang menyerangnya atau dengan mengatakannya sendiri? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Imam an-Nawawi mengatakan, 'Menyatukan keduanya adalah lebih baik.'" [5]

4. Ghadhdhul Bashar (Menundukkan Pandangan)
Orang yang berpuasa haruslah menundukkan pandangannya dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Ta'ala. Karena sebagaimana anggota tubuh lainnya, mata juga mempunyai hak puasa, dan puasa mata adalah dengan menundukkannya dari hal-hal yang haram.

Allah Ta'ala berfirman:

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka." [An-Nuur: 30-31]

Bulan puasa merupakan lembaga pendidikan yang paling baik bagi orang-orang yang diuji dengan berbagai keinginan syahwat dan ketamakan terhadap pujian manusia. Dia akan menghindari semua itu jika dia memahami hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala serta mencermati hikmah-Nya serta kegigihannya untuk memperbaiki puasanya dan menggapai pahalanya. Pada bulan tersebut, dia akan melatih diri untuk menundukkan pandangan serta menahan anggota tubuhnya dari hal-hal yang buruk dan menyibukkan hati dengan memikirkan ayat-ayat Allah sekaligus mengingat nikmat-nikmat-Nya yang telah dikaruniakan kepadanya, seraya mengintrospeksi diri dalam mensyukurinya dengan mengalokasikannya sebaik-baiknya.

Adapun orang-orang yang suka melakukan perbuatan sia-sia yang melepaskan pandangan mereka pada hal-hal yang haram serta tidak menjaga kesucian bulan tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan sesuatu untuk diri mereka, kecuali kerugian dan penyesalan di dunia serta mendapatkan siksa yang sangat pedih di akhirat kelak.

Benarlah ungkapan seorang penyair [6], di mana dia mengungkapkan:

"Kapan saja engkau melepaskan pandangan ke semua mata,
maka engkau akan dibuat lelah oleh pemandangan.
Engkau akan mendapatkan yang semuanya engkau tidak mampu
menahannya dan tidak juga dari sebagiannya engkau mampu bersabar."

Di antara Adab Sunnah yang Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa:

1. Memperbanyak bacaan al-Qur-an, berdzikir, berdo'a, shalat, serta shadaqah.
2. Mengingat semua nikmat yang telah diberikan oleh Allah Ta'ala kepadanya, di mana Dia telah memperkenankan para hamba-Nya untuk menjalankan ibadah puasa serta memberikan kemudahan dalam menunaikannya. Berapa banyak orang yang berangan-angan agar bisa menjalankan puasa, tetapi tidak mudah baginya untuk menjalankannya.
3. Menjaga semua anggota tubuh dari segala hal yang buruk, di mana seorang yang sedang berpuasa tidak akan mengerjakan apa yang dapat menodai puasanya. Anggota tubuh yang diperintahkan untuk selalu dijaga adalah lisan, mata, telinga, perut, kemaluan, tangan, dan kaki. Oleh karena itu, jika seorang muslim telah menjaga anggota tubuhnya dari segala macam bentuk dosa, maka puasanya akan sempurna dan pahalanya pun akan dilipatgandakan.
4. Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk memberikan makanan dan minuman untuk berbuka kepada seseorang atau lebih yang telah berpuasa meski hanya dengan satu buah tamr (kurma kering) atau seteguk air. Yang demikian itu merupakan shadaqah yang paling utama pada bulan Ramadhan.
5. Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk memakai siwak. Tidak ada perbedaan waktu antara awal siang dan di akhir siang -berdasarkan apa yang kami tarjih- karena siwak itu dapat membersihkan mulut sekaligus mendapatkan keridhaan Allah.

Demikianlah sebagian dari adab puasa yang bersifat wajib dan sunnah yang harus dipegang dan dijadikan hiasan oleh orang yang berpuasa agar dia bisa benar-benar beruntung, pada hari di mana sebagian orang beruntung dan sebagian lainnya menga-lami kerugian.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, "Orang-orang yang berpuasa itu terdiri dari dua tingkatan:

Pertama: Orang yang meninggalkan makan dan minum serta nafsu syahwatnya karena Allah Ta'ala dengan mengharapkan Surga sebagai gantinya dari sisi-Nya. Demikianlah perniagaan dan mu'amalah dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, di mana Dia tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang paling baik amal perbuatannya. Tidak akan merugi orang yang bermu'amalah dengan-Nya, tetapi justru dia akan mendapatkan keuntungan yang besar....

Kedua: Di antara orang yang berpuasa itu terdapat orang yang berpuasa di dunia dari segala sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, dimana dia menjaga kepala dan semua yang ada padanya, perut dan semua yang dikandungnya, mengingat kematian, dan menghendaki akhirat maka dengan begitu dia meninggalkan perhiasan dunia. Inilah 'Idul Fithrinya, hari pertemuan dengan Rabb-nya, dan kegembiraannya dengan melihat-Nya." [7]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/76) dan Shahiih Muslim (III/130))
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/26) dan Shahiih Muslim (III/131))
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/33) dan Shahiih Muslim (III/131))
[4]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (no. 1151 (163)).
[5]. Fat-hul Baari (IV/105).
[6]. Lihat Badaa-i'ul Fawaa-id (II/271), Ibnul Qayyim.
[7]. Lihat kitab Fii Aadaabish Shaum li Thaa-ifil Ma'aarif, karya Ibnu Rajab (hal. 185), al-Muhallaa (VI/541), al-Hidaayah (I/129), I'laa-us Sunan (IX/146), asy-Syarhush Shaghiir (II/228), Majmuu' Fataawaa (VI/359), al-Mughni (IV/432), Fat-hul Baari (IV/137) dan Nailul Authaar (IV/207).

Ramadhan Dan Turunnya Al-Qur'an : Kesungguhan Rasulullah Pada Bulan Ramadhan

RAMADHAN DAN TURUNNYA AL-QUR-AN : KESUNGGUHAN RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM PADA BULAN RAMADHAN TIDAK SEPERTI KESUNGGUHAN BELIAU SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM PADA BULAN-BULAN LAINNYA

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Allah Tabaraka wa Ta'ala telah berfirman:

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)..." [Al-Baqarah: 185]

Al-Qur-an diturunkan pada bulan Ramadhan, di mana petunjuk dan berbagai pengaruh serta nilainya telah terealisasi di muka bumi ini. Dan pada bulan ini pula al-Qur-an diturunkan sebagai ilmu dan pengetahuan, sebagai penunjuk jalan (kehidupan) sekaligus sebagai norma untuk berpijak. Sebelumnya, kekufuran telah merebak luas dan menghantui manusia. Tetapi ketika al-Qur-an datang, kekufuran itu terhenti, kegelapan pun terusir dan ruh kembali bersemangat untuk memasuki kehidupan. Sebab, risalah Islam akan dapat mempengaruhi dimensi ruh dalam kehidupan serta menjalankan fungsinya dalam merubah wajahnya yang gelap menjadi wajah yang terang bersinar, yang membawa kecintaan, kejernihan, hidayah dan bimbingan.

Al-Qur-an al-Karim memberikan petunjuk kepada manusia secara keseluruhan dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa secara khusus.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa." [Al-Baqarah: 2]

Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari keadaan gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." [Al-Maa-idah: 15-16]

Cahaya ini memiliki tiga manfaat, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ayat di atas:

1. Dengannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan keselamatan.
2. Mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju alam yang terang benderang.
3. Memberikan petunjuk kepada mereka menuju ke jalan yang lurus (Shiraath Mustaqiim).

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan kaum muslimin dengan kemuliaan yang luar biasa agungnya. Dia memuliakan mereka dengan kemuliaan yang paling tinggi pada bulan Ramadhan sejak empat belas abad yang lalu, ketika al-Qur-an al-'Azhim diturunkan dan Allah menjadikannya sebagai petunjuk sekaligus cahaya penerang.

Dengan demikian, orang-orang terdahulu telah membawa amanat dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Mereka berusaha menyampaikannya ke seluruh belahan bumi yang berhasil dipijak oleh kakinya, sehingga negeri ini dipenuhi oleh cahaya Allah Ta'ala. Negeri dan semua hamba-Nya tunduk kepada-Nya Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa.

Sudah sepatutnya kita sebagai kaum muslimin sekarang ini mengambil posisi sebagai pengawas dan pemantau terhadap al-Qur-an. Kita harus dapat memberikan haknya yang telah diwajibkan oleh Allah Ta'ala atas diri kita, serta memelihara nikmat yang agung ini sebagai nikmat hidayah yang abadi, yang bersifat umum dalam segala hal, baik nikmat kemuliaan, kepemimpinan, dan kehormatan.

Itulah nikmat yang di dalamnya terdapat kesembuhan yang sebenarnya bagi dada manusia dari penyakit syubhat dan syahwat.

Dengannya akan tercapai pengetahuan yang shahih terhadap berbagai kebenaran serta dapat membedakan pula yang buruk dari yang baik, dan yang jujur dari yang munafik. Dengan nikmat ini pula terwujud kesatuan yang sejati lagi sempurna bagi seluruh umat. Berulangnya bulan ini pada setiap tahunnya disebutkan oleh al-Qur-an dengan undang-undang persatuan yang abadi, sebuah Kitab yang selalu dibaca. Barangsiapa yang berpegang padanya maka ia akan selamat, dan barangsiapa yang mengikutinya maka ia akan mendapatkan petunjuknya, dan barangsiapa yang menyimpang darinya maka dia akan tersesat. Barangsiapa yang berhukum dengannya maka dia akan bersikap adil. Dan barangsiapa yang berbicara dengannya maka dia akan berbicara dengan benar, ia adalah tali Allah yang kuat dan jalan-Nya yang lurus serta petunjuk-Nya yang abadi bagi manusia secara keseluruhan.

Pembahasan 3
KESUNGGUHAN RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM PADA BULAN RAMADHAN TIDAK SEPERTI KESUNGGUHAN BELIAU SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM PADA BULAN-BULAN LAINNYA

Jika waktu atau tempat itu mulia maka akan mulia juga amal shalih yang dilakukan pada keduanya. Ketaatan di Makkah misalnya, lebih utama daripada di tempat lainnya. Amal kebajikan pada hari Jum'at lebih baik daripada hari lainnya. Yang termasuk seperti hal itu adalah bulan Ramadhan, karena keutamaannya, maka semua perbuatan baik yang dilakukan di dalamnya menjadi utama pula, misalnya shadaqah, qiyamul lail, membaca al-Qur-an, i’tikaf, dan umrah. Semua amal perbuatan di bulan Ramadhan tersebut lebih baik daripada dikerjakan di bulan-bulan lainnya.

Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayat-kan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dalam melakukan kebaikan, dan yang paling dermawan adalah apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan pada bulan Ramadhan ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dijumpai oleh Jibril. Dan Jibril Alaihissalam menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan sampai bulan itu berakhir. Kepadanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan. Oleh karena itu, jika Jibril Alaihissalam menemui beliau, maka beliau adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dibandingkan dengan angin yang diutus..." [1]

Pada bulan Ramadhan, jiwa menjadi terangkat dari kesalahan dan kehinaan serta selamat dari ketertarikan pada materi dan keinginan naluri menuju kepada kejernihan yang membersihkan hati seseorang dengan bershadaqah, berderma, dan memberi.

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling mulia lagi paling dermawan, di mana jika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi sesuatu maka beliau tidak pernah takut susah dan tidak juga takut miskin. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa menyambut kedatangan bulan Ramadhan dengan limpahan kedermawanan, sehingga beliau adalah orang yang paling murah dengan perbuatan baik daripada angin yang dikirim, yang berhembus dengan kealamiahannya, dia giring awan di setiap lembah, serta dia tebarkan kesejukan pada setiap tempat.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berusaha dengan sungguh-sungguh pada bulan Ramadhan, lebih gigih daripada bulan-bulan lainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam shalat, bacaan al-Qur-an, dzikir, dan shadaqah. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkonsentrasi penuh pada bulan ini dan melepaskan diri dari berbagai kesibukan yang pada hakikatnya merupakan ibadah, tetapi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan amal yang utama untuk mengerjakan apa yang lebih utama darinya.

Dan para Salafush Shalih selalu mengikuti Nabi mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal itu, di mana mereka mengkhususkan bulan ini dengan meningkatkan perhatian serta berkonsentrasi penuh pada amal-amal shalih. Oleh karena itu, kita harus mengikuti mereka serta menempuh jalan mereka, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menggiring kita dalam rombongan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ma'shum dan golongan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang baik lagi suci:

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo'a, 'Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami...'" [Al-Hasyr: 10]

Di antara hal paling utama yang harus dikerjakan oleh orang yang berpuasa pada siang harinya adalah berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mendekatkan diri kepada-Nya, dengan mengucapkan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Itulah amal-amal shalih yang manfaatnya tidak akan pernah berakhir dan pahalanya pun akan terus mengalir.

Oleh karena itu, jika orang yang berpuasa telah memanfaatkan waktu siangnya untuk berpuasa dan membaca al-Qur-an, dan memanfaatkan waktu malamnya untuk qiyamul lail dengan bersujud dan ruku', serta menjaga anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, maka akan terwujud kebaikan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata-mata air. Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka inginkan. (Dikatakan kepada mereka:) 'Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan.' Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.'" [Al-Mursalaat: 41-44]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "...Di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan adalah memperbanyak berbagai macam ibadah... Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling tampak adalah pada bulan Ramadhan. Hal itu tampak di mana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak bershadaqah, berbuat baik, membaca al-Qur-an, shalat, dzikir, dan i'tikaf. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan pada bulan Ramadhan ini ibadah-ibadah yang tidak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam khususkan pada bulan-bulan lainnya. Sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang menyambung waktu malam dan siangnya untuk beribadah...." [2]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (VII/ 73))
[2]. Zaadul Ma’aad (II/32).


Ramadhan Dan Turunnya Al-Qur'an : Membaca Dan Mendalami Al-Qur'an Serta Pengaruhnya Dalam Manhaj

RAMADHAN DAN TURUNNYA AL-QUR-AN : MEMBACA DAN MENDALAMI AL-QUR-AN SERTA PENGARUHNYA DALAM MENGHIDUPKAN MANHAJ [1] YANG LURUS DI DALAM DIRI KAUM MUSLIMIN

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Allah Tabaraka wa Ta'ala telah berfirman:

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)..." [Al-Baqarah: 185]

Al-Qur-an diturunkan pada bulan Ramadhan, di mana petunjuk dan berbagai pengaruh serta nilainya telah terealisasi di muka bumi ini. Dan pada bulan ini pula al-Qur-an diturunkan sebagai ilmu dan pengetahuan, sebagai penunjuk jalan (kehidupan) sekaligus sebagai norma untuk berpijak. Sebelumnya, kekufuran telah merebak luas dan menghantui manusia. Tetapi ketika al-Qur-an datang, kekufuran itu terhenti, kegelapan pun terusir dan ruh kembali bersemangat untuk memasuki kehidupan. Sebab, risalah Islam akan dapat mempengaruhi dimensi ruh dalam kehidupan serta menjalankan fungsinya dalam merubah wajahnya yang gelap menjadi wajah yang terang bersinar, yang membawa kecintaan, kejernihan, hidayah dan bimbingan.

Al-Qur-an al-Karim memberikan petunjuk kepada manusia secara keseluruhan dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa secara khusus.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa." [Al-Baqarah: 2]

Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari keadaan gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." [Al-Maa-idah: 15-16]

Cahaya ini memiliki tiga manfaat, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ayat di atas:

1. Dengannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan keselamatan.
2. Mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju alam yang terang benderang.
3. Memberikan petunjuk kepada mereka menuju ke jalan yang lurus (Shiraath Mustaqiim).

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan kaum muslimin dengan kemuliaan yang luar biasa agungnya. Dia memuliakan mereka dengan kemuliaan yang paling tinggi pada bulan Ramadhan sejak empat belas abad yang lalu, ketika al-Qur-an al-'Azhim diturunkan dan Allah menjadikannya sebagai petunjuk sekaligus cahaya penerang.

Dengan demikian, orang-orang terdahulu telah membawa amanat dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Mereka berusaha menyampaikannya ke seluruh belahan bumi yang berhasil dipijak oleh kakinya, sehingga negeri ini dipenuhi oleh cahaya Allah Ta'ala. Negeri dan semua hamba-Nya tunduk kepada-Nya Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa.

Sudah sepatutnya kita sebagai kaum muslimin sekarang ini mengambil posisi sebagai pengawas dan pemantau terhadap al-Qur-an. Kita harus dapat memberikan haknya yang telah diwajibkan oleh Allah Ta'ala atas diri kita, serta memelihara nikmat yang agung ini sebagai nikmat hidayah yang abadi, yang bersifat umum dalam segala hal, baik nikmat kemuliaan, kepemimpinan, dan kehormatan.

Itulah nikmat yang di dalamnya terdapat kesembuhan yang sebenarnya bagi dada manusia dari penyakit syubhat dan syahwat.

Dengannya akan tercapai pengetahuan yang shahih terhadap berbagai kebenaran serta dapat membedakan pula yang buruk dari yang baik, dan yang jujur dari yang munafik. Dengan nikmat ini pula terwujud kesatuan yang sejati lagi sempurna bagi seluruh umat. Berulangnya bulan ini pada setiap tahunnya disebutkan oleh al-Qur-an dengan undang-undang persatuan yang abadi, sebuah Kitab yang selalu dibaca. Barangsiapa yang berpegang padanya maka ia akan selamat, dan barangsiapa yang mengikutinya maka ia akan mendapatkan petunjuknya, dan barangsiapa yang menyimpang darinya maka dia akan tersesat. Barangsiapa yang berhukum dengannya maka dia akan bersikap adil. Dan barangsiapa yang berbicara dengannya maka dia akan berbicara dengan benar, ia adalah tali Allah yang kuat dan jalan-Nya yang lurus serta petunjuk-Nya yang abadi bagi manusia secara keseluruhan.

Pembahasan 2
MEMBACA DAN MENDALAMI AL-QUR-AN SERTA PENGARUHNYA DALAM MENGHIDUPKAN MANHAJ [1] YANG LURUS DI DALAM DIRI KAUM MUSLIMIN

Setiap kali hilal bulan Ramadhan melintas, maka akan muncul kerinduan umat Islam kepada hari-harinya yang penuh dengan hembusan angin keberkahan, yang merupakan petunjuk dalam pancarannya. Dan itulah kekuatan dari kejernihan pokok dan dasarnya, al-Qur-an al-Karim, yang telah menghamparkan petunjuk, penerang bagi umat ini di sepanjang zaman, dan telah membuatkan dasar-dasar manhaj abadi bagi kehidupan manusia yang baru. Manhaj yang seimbang dan sejalan. Manhaj yang memberi kemudahan pada batas-batas kemampuan. Manhaj yang menyerukan keada kemanusiaan yang bermartabat tinggi. Manhaj yang memiliki nilai yang mulia, yang di dalamnya berbagai perbedaan inderawi dan geografis melebur untuk bertemu dalam satu aqidah serta satu sistem yang ideal.

Satu manhaj yang menyamakan antara seluruh manusia serta menjadikan keutamaan di antara mereka dalam ketakwaan:

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian...." [Al-Hujuraat: 13]

Manhaj yang mendorong mereka untuk menghidupkan bulan puasa dalam kesatuan keislaman yang hakiki, yang mengatasi berbagai rintangan dan penyimpangan serta melintasi semua batasan dan kebangsaan. Serta menyatukan mereka dalam kesatuan tujuan, menggiring umat menuju kepada realisasi tujuan yang selalu diharapkan keberadaannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." [Adz-Dzaariyaat: 56]

Dengan pandangan sekilas kepada para Salafush Shalih [2], kita akan mendapati salah satu dari mereka, dengan membawa beberapa surat al-Qur-an sanggup memperbaiki apa yang telah dirusak oleh bangsa Persia dan Romawi. Dan sanggup membuka hati (penduduk negeri) sebelum membebaskan negerinya.

Benar, inilah kewajiban orang-orang mukmin yang membaca al-Qur-an dengan sebenar-benarnya sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala

Demi Allah, seandainya hati kaum muslimin itu telah bersih dari segala macam penyakit serta menjernihkan hal-hal yang membuatnya keruh, niscaya mereka akan mengetahui nilai dan kewajiban mereka terhadap al-Qur-an, satu-satunya penyelamat sekaligus satu-satunya pelindung dari segala macam pemikiran yang merusak yang akan menghantam kejahatannya di zaman sekarang ini. Dan akal dari kebanyakan manusia yang menyimpang karena kekosongannya dari wahyu Allah Ta'ala yang membentengi dan melindunginya dari mereka, maka Dia wahyukan di dalamnya petunjuk yang mencukupi, memadai, menyelamatkan, sekaligus melindungi dari segala macam godaan syaitan manusia yang merusak akal dan gangguan jin yang menyerang fitrah.

Di dalamnya juga terkandung penjelasan yang sangat jelas mengenai petunjuk dan pembeda, yang membedakan antara yang haq dan yang bathil. Oleh karena itu, Allah Ta'ala memperjelas hikmah dalam pengkhususan bulan Ramadhan dengan syari'at puasa melalui firman-Nya:

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)...." [Al-Baqarah: 185]

Bacaan dan kajian terhadap al-Qur-an memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa untuk melakukan perbaikan dan penyucian, yang berkonsekuensi pada penerimaan seorang hamba dan pendekatannya kepada Rabb-nya Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, orang-orang shalih sepanjang perjalanan zaman selalu memperbanyak bacaan al-Qur-an pada bulan Ramadhan dan menyambutnya dengan sepenuh hati. [3]

Al-Qur-an adalah kitab umat Islam yang abadi, yang menyelamatkan mereka dari kegelapan menuju sinar yang terang benderang. Lalu menumbuhkan keadaan ini serta menggantikan rasa takut mereka dengan rasa aman. Dia memberikan tempat bagi mereka di muka bumi ini, serta dia memberikan sendi-sendinya yang dengan itu mereka menjadi umat yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan. Di mana tanpa sendi-sendi tersebut, umat Islam tidak akan menjadi umat yang baik dan tidak akan mendapatkan tempat di muka bumi ini serta tidak juga disebut di langit. Maka wujud dari rasa syukur kepada Allah Ta'ala atas nikmat al-Qur-an ini adalah minimal dengan memenuhi seruan Allah un-tuk berpuasa pada bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur-an.

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Manhaj berarti jalan yang jelas dan mudah sebagaimana yang terdapat dalam Tafsiir Ibni Katsir tentang perkataan Sahabat Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang..." [Al-Maa-idah: 48). Lihat Tafsiir Ibni Katsir (II/75-76), cet. Maktabah Darus Salam, th. 1413 H.-red.
[2]. Para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in.-red.
[3]. Ash-Shaum (hal. 73), karya ad-Dausari.



Ramadhan Dan Turunnya Al-Qur'an : Memperbaharui Hubungan Seorang Muslim Dengan Kitabullah

RAMADHAN DAN TURUNNYA AL-QUR-AN : MEMPERBAHARUI HUBUNGAN SEORANG MUSLIM DENGAN KITABULLAH DI BULAN RAMADHAN

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Allah Tabaraka wa Ta'ala telah berfirman:

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)..." [Al-Baqarah: 185]

Al-Qur-an diturunkan pada bulan Ramadhan, di mana petunjuk dan berbagai pengaruh serta nilainya telah terealisasi di muka bumi ini. Dan pada bulan ini pula al-Qur-an diturunkan sebagai ilmu dan pengetahuan, sebagai penunjuk jalan (kehidupan) sekaligus sebagai norma untuk berpijak. Sebelumnya, kekufuran telah merebak luas dan menghantui manusia. Tetapi ketika al-Qur-an datang, kekufuran itu terhenti, kegelapan pun terusir dan ruh kembali bersemangat untuk memasuki kehidupan. Sebab, risalah Islam akan dapat mempengaruhi dimensi ruh dalam kehidupan serta menjalankan fungsinya dalam merubah wajahnya yang gelap menjadi wajah yang terang bersinar, yang membawa kecintaan, kejernihan, hidayah dan bimbingan.

Al-Qur-an al-Karim memberikan petunjuk kepada manusia secara keseluruhan dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa secara khusus.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa." [Al-Baqarah: 2]

Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari keadaan gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." [Al-Maa-idah: 15-16]

Cahaya ini memiliki tiga manfaat, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ayat di atas:

1. Dengannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan keselamatan.
2. Mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju alam yang terang benderang.
3. Memberikan petunjuk kepada mereka menuju ke jalan yang lurus (Shiraath Mustaqiim).

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan kaum muslimin dengan kemuliaan yang luar biasa agungnya. Dia memuliakan mereka dengan kemuliaan yang paling tinggi pada bulan Ramadhan sejak empat belas abad yang lalu, ketika al-Qur-an al-'Azhim diturunkan dan Allah menjadikannya sebagai petunjuk sekaligus cahaya penerang.

Dengan demikian, orang-orang terdahulu telah membawa amanat dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Mereka berusaha menyampaikannya ke seluruh belahan bumi yang berhasil dipijak oleh kakinya, sehingga negeri ini dipenuhi oleh cahaya Allah Ta'ala. Negeri dan semua hamba-Nya tunduk kepada-Nya Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa.

Sudah sepatutnya kita sebagai kaum muslimin sekarang ini mengambil posisi sebagai pengawas dan pemantau terhadap al-Qur-an. Kita harus dapat memberikan haknya yang telah diwajibkan oleh Allah Ta'ala atas diri kita, serta memelihara nikmat yang agung ini sebagai nikmat hidayah yang abadi, yang bersifat umum dalam segala hal, baik nikmat kemuliaan, kepemimpinan, dan kehormatan.

Itulah nikmat yang di dalamnya terdapat kesembuhan yang sebenarnya bagi dada manusia dari penyakit syubhat dan syahwat.

Dengannya akan tercapai pengetahuan yang shahih terhadap berbagai kebenaran serta dapat membedakan pula yang buruk dari yang baik, dan yang jujur dari yang munafik. Dengan nikmat ini pula terwujud kesatuan yang sejati lagi sempurna bagi seluruh umat. Berulangnya bulan ini pada setiap tahunnya disebutkan oleh al-Qur-an dengan undang-undang persatuan yang abadi, sebuah Kitab yang selalu dibaca. Barangsiapa yang berpegang padanya maka ia akan selamat, dan barangsiapa yang mengikutinya maka ia akan mendapatkan petunjuknya, dan barangsiapa yang menyimpang darinya maka dia akan tersesat. Barangsiapa yang berhukum dengannya maka dia akan bersikap adil. Dan barangsiapa yang berbicara dengannya maka dia akan berbicara dengan benar, ia adalah tali Allah yang kuat dan jalan-Nya yang lurus serta petunjuk-Nya yang abadi bagi manusia secara keseluruhan.

Pembahasan 1
MEMPERBAHARUI HUBUNGAN SEORANG MUSLIM DENGAN KITABULLAH DI BULAN RAMADHAN

Al-Qur-an al-Karim turun pada bulan Ramadhan. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mempelajarinya bersama Jibril Alaihissalam pada bulan Ramadhan, dengan mendengar, mentadabburi, dan membacanya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memperhatikan nasihat-nasihat dan pelajarannya serta membuka lebar fikiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk makna dan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya.

Orang berpuasa yang mengikuti contoh dari Nabinya Shallallahu 'alaihi wa sallam akan selalu menyatukan dalam puasanya, antara bulan Ramadhan dan al-Qur-an, karena Ramadhan adalah bulan al-Qur-an:

"Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur-an dan mengajarkannya."

Turunnya al-Qur-an pada bulan Ramadhan merupakan sugesti yang sangat kuat bagi umat ini untuk banyak membaca dan mengkajinya di bulan tersebut, karena pada hakikat dan realitasnya bulan Ramadhan merupakan bulan al-Qur-an.

Betapa indahnya halaqah-halaqah kajian al-Qur-an yang diadakan di masjid-masjid sepanjang bulan tersebut. Kaum muslimin pun berbondong-bondong mendatanginya untuk mencari hidayah, hikmah, dan cahaya di pelataran rumah-rumah Allah Ta'ala. Faktor penyebabnya karena al-Qur-an memiliki rasa yang khusus pada bulan Ramadhan, karena ia akan mengingatkan kenangan saat ia turun dan hari-hari pengkajiannya serta waktu-waktu perhatian kaum Salaf terhadapnya. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur-an dan mengajarkannya..."

Jika Ramadhan datang, orang-orang Salaf menyibukkan diri dengan mempelajari dan mendalami al-Qur-an lebih intensif dari bulan-bulan lainnya. Sampai-sampai mereka meninggalkan sementara halaqah-halaqah ilmu.
Dari Imam Malik rahimahullah, bahwasanya beliau jika Ramadhan datang, halaqah-halaqah ilmu, kajian dan pemberian fatwa dihentikan. Dan beliau mengatakan, "Ini bulan Ramadhan sehingga kita harus berkonsentrasi dengannya."

Pada bulan Ramadhan dari setiap tahun, hubungan seorang muslim dan Kitabullah (al-Qur-an) selalu mengalami pembaharuan, sehingga Ramadhan akan disambut dengan bacaan, pendalaman, pemahaman, perhatian, pembenaran dan pengamalan al-Qur-an.

Pada hari pembaharuan hubungan kaum muslimin dengan Kitabullah serta pengamalan mereka terhadapnya di segenap aspek kehidupan mereka, dengannya mereka memerangi musuh dan beribadah kepada sang Khaliq. Semua hati yang ada di sekeliling al-Qur-an senantiasa tertuju kepadanya. Dan padanya ilmu pengetahuan berpijak serta darinya pula semua hukum disarikan. Pada hari di mana semuanya itu terealiasasi bagi kaum muslimin, akan terwujud pula bagi mereka kemuliaan, kehormatan, serta kepemimpinan, sebagaimana yang pernah diperoleh orang-orang shalih sebelum mereka.

Pada saat membacanya, al-Qur-an memiliki beberapa adab yang harus dipelihara dan dipegang teguh oleh setiap muslim. Yang terpenting di antaranya adalah:

1. Membaca al-Qur-an dengan niat tulus ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, dimana Dia Ta’ala telah berfirman:

"Padahal mereka tidak diperintah melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus...." [Al-Bayyinah: 5]

2. Membaca dengan menghadirkan hati sambil mencermati dan memahami, khusyu', takut dan merasa seakan-akan Allah berbicara langsung kepadanya di dalam al-Qur-an ini.

3. Membaca al-Qur-an dalam keadaan suci (berwudhu' terlebih dahulu), karena yang demikian itu termasuk pengagungan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

4. Tidak membaca al-Qur-an di tempat-tempat yang kotor atau di tempat-tempat di mana orang-orang yang berkumpul di sana tidak mau mendengar bacaan al-Qur-an, karena bacaan al-Qur-an di tempat-tempat ini sebagai bentuk penghinaan.

5. Membaca dengan lagam dan suara yang indah. Tetapi tidak boleh mengganggu orang lain dalam bacaan ini, seperti ada orang yang sedang tidur di dekatnya atau mengerjakan shalat atau di sampingnya terdapat halaqah ilmu dan lain sebagainya.

Dan masih banyak lagi adab-adab yang harus diperhatikan di setiap saat oleh pembaca al-Qur-an.

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]



Hal-Hal Yang Membatalkan Dan Merusak Puasa : Hal-Hal Yang Makruh Dalam Puasa

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN DAN MERUSAK PUASA : HAL-HAL YANG MAKRUH DALAM PUASA

Oleh
Dr.
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Puasa berarti menahan diri dengan disertai niat dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar (kedua-ed) sampai terbenamnya matahari.

Hal-hal yang membatalkan puasa itu adalah:
1. Hubungan badan (jima').
2. Keluarnya mani.
3. Makan dan minum.
4. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum.
5. Hijamah (bekam).
6. Muntah dengan sengaja.
7. Keluarnya darah haidh dan nifas.


Keterangan secara rinci tentang hal-hal tersebut dirangkum dalam beberapa pembahasan berikut ini:
Pembahasan 9
HAL-HAL YANG MAKRUH DALAM PUASA

Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk melakukan hal-hal yang dapat mengakibatkan puasanya menjadi rusak. Hal-hal itu meskipun tidak merusak puasa itu sendiri, tetapi terkadang dapat menjadikan perantara menuju rusaknya puasa. Dan karenanya dimakruhkan, di antaranya adalah:

1. Berlebih-lebihan dalam berkumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung, lalu menghirupnya dengan sekali nafas sampai ke dalam hidung yang paling ujung) ketika berwudhu'.

Hal itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Laqith bin Shabrah:

"Bersungguh-sungguhlah dalam berkumur dan dalam menghirup air ke hidung, kecuali jika engkau sedang berpuasa." [1]

Dan jika ada air kumur atau istinsyaq yang masuk ke dalam perutnya secara sengaja, maka menurut ijma' puasanya batal, dan dia harus mengqadha'nya. Tetapi jika masuknya air tanpa disengaja, maka terdapat dua pendapat dari para ulama.

2. Mencium.
Dimakruhkan untuk mencium bagi orang yang sedang berpuasa, karena ciuman terkadang dapat membangkitkan nafsu syahwat yang dapat merusak puasanya, baik dalam bentuk keluarnya sperma maupun dengan hubungan badan. Tidak ada perbedaan dalam hal itu, baik antara anak muda maupun orang tua. Jadi, yang dihindari adalah gejolak syahwat dan keluarnya sperma. Demikian juga dengan peluk cium, sentuhan tangan dan lain-lain yang dapat membangkitkan gejolak nafsu.

3. Memandang secara terus-menerus kepada isteri atau budak perempuan jika hal tersebut dapat membangkitkan nafsu syahwat, karena hal itu terkadang dapat menyebabkan puasanya rusak.

4. Berfikir dan membayangkan masalah hubungan badan (jima'), karena hal itu bisa mendorong dirinya untuk berfikir mengarah kepada pengeluaran sperma atau muncul keberanian untuk melakukan hubungan badan. Dan ini jelas dapat merusak puasanya dan menceburkan dirinya ke dalam dosa.

5. Mengunyah permen karet.
Jika permen karet ini mengandung unsur cairan yang bisa ditelan oleh orang yang berpuasa, sebagaimana permen karet yang populer sekarang ini, maka hal ini jelas haram dan dapat membatalkan puasa.

Dan jika tidak mengandung unsur di atas sama sekali, seperti misalnya potongan karet, maka yang demikian itu makruh dan tidak diharamkan.

6. Mencicipi makanan.
Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk mencicipi makanan dari kuah atau yang lainnya, jika tidak ada sesuatu pun yang sampai ke perutnya. Jika ada sesuatu yang masuk ke dalam perutnya maka puasanya batal. Dan jika memerlukannya untuk kepentingan anak kecil atau orang sakit atau yang semisalnya, maka tidak dimakruhkan, karena merupakan hal yang sangat darurat.

7. Wishal (berturut-turut tanpa berbuka).
Dimakruhkan wishal dalam berpuasa. Pada hakikatnya yang dilarang adalah berpuasa dua hari atau lebih tanpa sedikit pun mengkonsumsi makanan atau minuman sepanjang siang dan malam. Dan jika memakan atau meminum sesuatu walaupun sedikit, maka hal itu tidak disebut sebagai wishal. Dengan ke-makruhannya, wishal tidak membatalkan puasa.

Dan hikmah dari larangan berpuasa secara wishal ini adalah agar tubuh tidak menjadi lemah untuk menunaikan berbagai kewajiban. Bahkan terkadang tubuh bisa tertimpa bahaya yang cukup serius, yang bisa berpengaruh terhadap indera dan anggota tubuh.

8. Mengumpulkan ludah dan menelannya, demikian juga menelan dahak. [2]
Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk mengumpulkan ludah dan menelannya atau menelan dahak, karena hal itu bisa masuk ke dalam perut dan mengenyangkannya. Dan itu jelas bertentangan dengan hikmah puasa.

9. Mencium bebauan apa yang tidak dijamin aman dari mencium baunya atau membuat nafasnya menelan bau tertentu sampai ke tenggerokan, seperti wangi-wangian (parfum), kapur barus, dupa/kemenyan dan yang lainnya.

10. Sebagian ulama memakruhkan siwak (gosok gigi) setelah zawal (tergelincirnya matahari atau waktu menjelang Zhuhur).

Dan yang shahih, siwak itu disyari'atkan sebelum zawal dan setelahnya pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Tetapi, pada bulan Ramadhan harus dihindari benda-benda basah yang mengan-dung air, yang terkadang dapat masuk ke dalam perutnya. [3]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (III/146), Abu Dawud (II/308), Ahmad, (IV/ 32), Ibnu Abi Syaibah (III/101), Ibnu Majah (no. 407), an-Nasa-i (no. 87), dari Laqith bin Shabrah Radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang shahih. Lihat kitab Shifatu Shaumin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (hal. 54).
[2]. Haasyiyah ar-Raudhil Murabbi' (III/404).
[3]. Lihat Haasyiyah Ibni Abidin (II/416), asy-Syarhush Shaghiir (II/231), Raudha-tuth Thaalibiin (II/360), al-Mughni (IV/355), Nailul Authaar (IV/219).


Hal-Hal Yang Membatalkan Dan Merusak Puasa : Hukum Orang Yang Membatalkan Puasa Dengan Sengaja

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN DAN MERUSAK PUASA : HUKUM ORANG YANG MEMBATALKAN PUASA DENGAN SENGAJA

Oleh
Dr.
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Puasa berarti menahan diri dengan disertai niat dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar (kedua-ed) sampai terbenamnya matahari.

Hal-hal yang membatalkan puasa itu adalah:
1. Hubungan badan (jima').
2. Keluarnya mani.
3. Makan dan minum.
4. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum.
5. Hijamah (bekam).
6. Muntah dengan sengaja.
7. Keluarnya darah haidh dan nifas.

Keterangan secara rinci tentang hal-hal tersebut dirangkum dalam beberapa pembahasan berikut ini:

Pembahasan 8
HUKUM ORANG YANG MEMBATALKAN PUASA DENGAN SENGAJA

Barangsiapa membatalkan puasa dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan syari'at, maka dia telah melakukan kesalahan atas hak dirinya sendiri dan juga hak masyarakatnya. Dan jika Anda, saudaraku, ingin mengetahui tingkat pengharaman dan tingkat dosa orang yang merusak kesucian bulan Ramadhan dengan membatalkan puasanya, baik dengan cara makan, minum atau berhubungan badan, maka renungkanlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu secara marfu' :

".... Barangsiapa membatalkan puasa satu hari dari bulan Ramadhan tanpa alasan dan juga bukan karena sakit, maka dia tidak dapat menggantinya dengan puasa dahr (terus-menerus) meskipun dia melakukannya...." [1]

Dan juga hadits yang diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

"Barangsiapa tidak berpuasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa alasan, maka tidak dibolehkan baginya mengerjakan puasa dahr sehingga dia menemui Allah. Jika Allah berkehendak, Dia akan memberikan ampunan kepadanya dan jika Allah berkehendak, Dia akan mengadzabnya." [2]

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Ketika tengah tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal seraya berkata: 'Naiklah.' Lalu kukatakan: 'Sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya.' Selanjutnya, keduanya berkata: 'Kami akan memudahkan untukmu.' Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung tiba-tiba ada suara yang keras sekali, maka kutanyakan: 'Suara apa itu?' Mereka menjawab: 'Itu adalah jeritan para penghuni Neraka.' Kemudian dia membawaku berjalan dan ternyata aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan robekan itu mengalirkan darah.' Aku berkata, 'Siapakah mereka itu?' Dia menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang yang berbuka sebelum waktu berbuka...." [3]

Demikianlah gambaran mengerikan dari adzab yang ditimpakan kepada orang-orang yang merusak kesucian bulan Ramadhan serta meremehkan syi'ar yang suci ini, di mana mereka tidak berpuasa secara terang-terangan pada siang hari di bulan Ramadhan. Mereka akan bergelantungan pada kaki mereka seperti bergelantungannya binatang sembelihan, di mana kaki berada di atas dan kepala berada di bawah. Dan mulut mereka akan dirobek sehingga keluar darah yang mengalir darinya. Keadaan itu merupakan gambaran yang benar-benar mengerikan. Apakah orang-orang zhalim itu mau mengambil pelajaran untuk diri mereka sendiri yang merusak kesucian bulan Ramadhan yang penuh berkah, yang mereka tidak mau menjaga kehormatan waktu dan tidak juga memelihara hak Pencipta mereka? Mereka benar-benar telah merusak rukun keempat dari rukun-rukun Islam tanpa mempedulikan tujuan dari penciptaan mereka sama sekali:

"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." [Adz-Dzaariyaat: 56]

Para ulama telah menyebutkan bahwa orang yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tanpa alasan (yang dibenarkan), berarti dia telah melakukan salah satu dari perbuatan dosa besar.

Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah mengatakan, "Dosa besar yang keenam adalah orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa alasan (yang dibenarkan)..." [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "Jika orang yang muntah itu diterima alasannya, maka apa yang menimpa dirinya itu tidak dipermasalahkan dan ia seperti halnya orang sakit yang harus mengqadha' puasa. Dia tidak termasuk pelaku dosa besar, (tidak sebagaimana dosa besar dari orang) yang tidak berpuasa tanpa alasan..." [5]

Dan jika seseorang tidak berpuasa pada siang hari di bulan Ramadhan tanpa alasan, maka pemerintah wajib memberikan hukuman kepadanya. Hukuman itu bisa dalam bentuk penjara atau cambuk, tetapi hukuman tersebut harus menjadikannya jera sehingga ia tidak mau lagi mengulangi perbuatan itu atau agar perbuatannya tidak diikuti oleh orang lain.

Al-Qaffal mengatakan: ".... Barangsiapa membatalkan puasa pada bulan Ramadhan bukan karena hubungan badan dan tanpa alasan yang benar, maka dia harus mengqadha'nya dan tetap menahan diri selama waktu yang tersisa dari siang itu serta tidak ada kaffarat baginya. Dan penguasa harus menghukumnya, hal itu pula yang dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud..." [6]

Syaikh al-Jaza-iri menukil ungkapan dari Imam adz-Dzahabi: "....Yang telah menjadi ketetapan di kalangan orang-orang mukmin bahwa orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan bukan karena sakit dan tanpa alasan (yang benar) adalah orang yang lebih jahat dari orang yang berzina dan juga lebih buruk dari pecandu khamr, bahkan keislamannya diragukan dan menganggapnya termasuk dari kaum Zindiq dan rusak...." [7]

Orang-orang yang secara terang-terangan memperlihatkan bahwa dirinya tidak berpuasa sedang mereka dalam keadaan sehat wal 'afiat serta tidak memiliki alasan yang membolehkan mereka berbuka, berarti mereka telah kehilangan rasa malu kepada Allah dan rasa takut dari hamba-hamba-Nya. Hati dan akal fikiran mereka telah terpenuhi dengan keingkaran, hati mereka telah dipenuhi dengan godaan dari syaitan dan dosa, dan mereka tidak mengetahui bahwa dengan tidak berpuasa itu mereka telah menghancurkan salah satu dari rukun Islam. Mereka adalah orang-orang fasik dan kurang iman serta sudah tidak lagi memiliki harga diri. Kaum muslimin melihat mereka dengan sebelah mata sambil menghinakannya. Mereka termasuk para pelaku dosa besar, dan pada hari Kiamat kelak, adzab Rabb Yang Mahaperkasa lagi Mahaberkuasa telah menanti mereka.

Telah diajukan kepada al-Lajnah ad-Da-imah lil Iftaa' (Komite Fatwa) di Saudi Arabia sebuah pertanyaan menyangkut masalah ini:

Pertanyaan: Apakah hukumnya jika seorang muslim melalui bulan Ramadhan dan tidak berpuasa, tetapi ia tetap menjalankan kewajiban yang lain padahal tidak ada satu halangan apapun yang merintanginya? Apakah dia harus mengqadha'nya jika bertaubat?

Jawab: Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam. Dan tindakan seorang mukallaf (orang yang telah terkena beban syari'at), secara sengaja meninggalkan puasa pada bulan Ramadhan adalah termasuk dosa besar yang paling besar. Sebagian ulama bahkan menilainya kufur dan murtad karenanya. Dia wajib bertaubat dengan taubat nashuha serta memperbanyak amal shalih dan juga amalan-amalan sunnah. Selain itu, dia juga harus memelihara syari'at agama, baik itu shalat, puasa, haji, zakat dan yang lainnya. Dan dia tidak berkewajiban mengqadha' puasa. Demikian menurut pendapat ulama yang paling benar, karena kejahatannya itu terlalu besar untuk memaksanya dalam mengqadha'. [8]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari tanpa sanad. Shahiih al-Bukhari dengan syarahnya Fat-hul Baari (IV/161).
[2]. Fat-hul Baari (IV/161).
[3]. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam kitab, al-Kubraa, sebagaimana yang ter-dapat dalam kitab Tuhfatul Asyraaf (IV/166), Ibnu Hibban dalam Mawaariduzh Zham-aan ilaa Zawaa-idi Ibni Hibban (no. 1800) dan al-Hakim (I/430), sanadnya shahih. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 995, I/420).
[4]. Al-Kabaa-ir karya Imam adz-Dzahabi (hal. 49).
[5]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/225).
[6]. Hilyatul 'Ulamaa' (III/198).
[7]. Risaalah Ramadhaan (hal. 66).
[8]. Fataawaa Islaamiyyah (II/140).


Hal-Hal Yang Membatalkan Dan Merusak Puasa : Muntah Dengan Sengaja, Keluarnya Darah Haidh Dan Nifas

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN DAN MERUSAK PUASA : MUNTAH DENGAN SENGAJA, KELUARNYA DARAH HAIDH DAN NIFAS

Oleh
Dr.
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Puasa berarti menahan diri dengan disertai niat dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar (kedua-ed) sampai terbenamnya matahari.

Hal-hal yang membatalkan puasa itu adalah:
1. Hubungan badan (jima').
2. Keluarnya mani.
3. Makan dan minum.
4. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum.
5. Hijamah (bekam).
6. Muntah dengan sengaja.
7. Keluarnya darah haidh dan nifas.

Keterangan secara rinci tentang hal-hal tersebut dirangkum dalam beberapa pembahasan berikut ini:

Pembahasan 6
MUNTAH DENGAN SENGAJA

Yang dimaksud di sini adalah mengeluarkan apa yang ada di dalam perut dengan sengaja, baik berupa makanan atau minuman melalui mulut.

Puasa bisa batal disebabkan oleh muntah yang dilakukan dengan sengaja, baik itu melalui perbuatan seperti menekan perut atau dengan cara mencium sesuatu yang tidak sedap agar muntah, atau dengan melihat sesuatu yang menjijikkan agar bisa muntah. Karena hal tersebut, maka dia harus mengqadha' puasanya pada hari itu. Tetapi jika muntah itu keluar dengan sendirinya tanpa disengaja, maka hal itu tidak berpengaruh pada puasanya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "....Dengan cara bagaimana pun muntah itu dikeluarkan maka tindakan itu telah membatalkan puasanya, baik itu dilakukan dengan cara memasukkan jari ke dalam tenggorokan atau dengan mencium segala sesuatu yang dapat membuatnya muntah, atau dengan cara meletakkan tangan di bawah perutnya dan berusaha mengeluarkan muntahan. Semuanya itu merupakan cara mengeluarkan muntahan..." [1]

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: "... Adapun mengenai muntah, Jumhur Ulama telah membedakan antara orang yang muntah dengan tidak disengaja yang hal ini tidak membatalkan puasanya, dengan orang yang sengaja mengeluarkan muntahan dan hal ini jelas membatalkan puasa. Ibnul Mundzir telah menukil ijma' tentang batalnya puasa disebabkan muntah dengan sengaja ...." [2]

Pembahasan 7
KELUARNYA DARAH HAIDH DAN NIFAS

Jika seorang wanita mengeluarkan darah haidh atau nifas, maka puasanya menjadi batal, baik dia mengetahui hal tersebut di awal pagi maupun di akhir waktu puasa. Hal tersebut ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'..... Bukankah jika dia haidh, dia tidak dapat mengerjakan shalat dan tidak juga berpuasa? Yang demikian itu merupakan bentuk kekurangan agamanya....'" [3]

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, yang di dalamnya disebutkan:

".... Kami pernah mengalami haidh pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat...." [4]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Ibid, (XXV/257).
[2]. Fat-hul Baari (IV/174).
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. Shahiih al-Bukhari (III/31).
[4]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. Shahiih al-Bukhari dengan syarahnya Fat-hul Baari (I/420). Lihat kitab Mawaahibul Jaliil (II/433) dan al-Muhallaa (VI/472).


Hal-Hal Yang Membatalkan Dan Merusak Puasa : Makan Dan Minum Sengaja, Yang Semakna Makan Dan Minum

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN DAN MERUSAK PUASA : MAKAN DAN MINUM, HAL-HAL YANG SEMAKNA DENGAN MAKAN DAN MINUM, HIJAMAH

Oleh
Dr.
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar




Puasa berarti menahan diri dengan disertai niat dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar (kedua-ed) sampai terbenamnya matahari.

Hal-hal yang membatalkan puasa itu adalah:
1. Hubungan badan (jima').
2. Keluarnya mani.
3. Makan dan minum.
4. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum.
5. Hijamah (bekam).
6. Muntah dengan sengaja.
7. Keluarnya darah haidh dan nifas.

Keterangan secara rinci tentang hal-hal tersebut dirangkum dalam beberapa pembahasan berikut ini:

Pembahasan 3
MAKAN DAN MINUM DENGAN SENGAJA

Yang dimaksud di sini adalah memasukkan makanan atau minuman sampai ke dalam perut melalui mulut maupun hidung, apapun makanan dan minuman yang dikonsumsi tersebut. Hal itu didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam...."[Al-Baqarah: 187]

Dengan demikian, Allah Jalla wa Ala telah membolehkan makan dan minum sampai terbit fajar kedua, dan kemudian diperintahkan untuk menyempurnakan puasa sampai malam. Dan itu berarti meninggalkan makan dan minum selama rentang waktu tersebut, yaitu antara terbit fajar sampai malam hari.

Termasuk di dalamnya sedotan tembakau (hisapan rokok) melalui hidung. Demikian juga memasukkan sesuatu yang jenisnya cair atau beku melalui hidung, mata, atau telinga, dengan syarat jika semuanya itu sampai ke perut. [1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "....Sebagaimana diketahui bahwa nash dan ijma' telah menetapkan bahwa puasa itu batal karena makan, minum, hubungan badan, haidh...." [2]

Pembahasan 4
HAL-HAL YANG SEMAKNA DENGAN MAKAN DAN MINUM

Semua hal yang semakna dengan makan dan minum, seperti transfusi darah kepada orang yang berpuasa sehingga dia tidak lagi memerlukan makan dan minum. Demikian juga dengan infus yang menggantikan posisi makan dan minum. Oleh karena itu, jika seseorang ditransfusi darah untuk keadaan darurat, seperti saat terjadi pendarahan atau diberi jarum infus maka dengan demikian, dia sudah tidak berpuasa dan harus mengqadha' puasa hari itu di hari yang lain. Dan dibolehkan juga baginya untuk berbuka (tidak berpuasa) karena keadaan darurat, tetapi dia harus mengqadha'nya, karena apa saja yang membuat puasa menjadi batal, maka hal itu telah menggantikan posisi makan dan minum.

Sedangkan jarum-jarum selain jarum untuk infus maka tidak membatalkan puasa, di bagian tubuh mana pun disuntikkan dan bagaimana pun caranya, selama tidak sampai ke perutnya, sebagai-mana yang telah kami sampaikan sebelumnya.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, "Yang tampak bagi kami bahwa jarum yang disuntikkan ke pembuluh darah dapat membatalkan puasa, karena adanya zat yang masuk ke dalam tubuh pemakainya. Dan para ahli fiqih rahimahullah telah menilai dengan jelas tentang rusaknya puasa orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui bagian mana pun dari tubuhnya...." [3]

Pembahasan 5
HIJAMAH (BEKAM)

Hijamah atau bekam berarti penyedotan (darah) dengan membuat irisan kecil pada permukaan kulit secara sengaja untuk mengeluarkan darah dari tubuh melalui pembuluh darah (yang dilukai). Oleh karena itu, jika proses pengeluaran darah dari (tubuh) orang yang berpuasa itu dilakukan melalui pembekaman atau dikeluarkan untuk donor darah guna menyelamatkan orang sakit yang membutuhkan darah, maka hal tersebut membatalkan puasa.

Dasar pijakan hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Syaddad bin Aus, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Puasa orang yang membekam dan yang dibekam itu telah rusak (batal)." [4]

Dan banyak hadits telah disebutkan yang maknanya mengarah kepada pembatalan puasa karena hijamah (bekam). Berdasarkan hal tersebut, maka tidak dibolehkan bagi orang yang berpuasa wajib untuk melakukan donor darah, kecuali dalam keadaan benar-benar darurat, dengan syarat hal tersebut tidak membahayakan diri pendonor. Dan jika melakukan maka puasanya pada hari itu batal dan dia harus mengqadha'nya. [5]

Sedangkan keluarnya darah tanpa sengaja dari orang yang berpuasa, seperti mimisan, atau darah yang keluar karena luka atau gigi yang lepas, dan lain sebagainya yang tidak mempengaruhi puasa seseorang, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa, karena hal tersebut tidak berarti bekam. Kemudian orang yang berpuasa dimaafkan dalam keadaan ini, karena ia memang benar-benar dalam kondisi tersebut (yang memang bukan menjadi pilihannya,-ed).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "....Telah kami jelaskan bahwa penilaian batalnya puasa karena bekaman itu telah sesuai dengan ushul dan qiyas. Dan hal itu sejenis dengan darah haidh, muntah dengan sengaja, dan onani. Jika demikian adanya, maka dengan cara bagaimana pun dia ingin mengeluarkan darah, berarti dia telah berbuka...." [6]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Fataawaa wa Rasaa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim (IV/189).
[2]. Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab (VI/313), Kasysful Qinaa' (II/317).
[3]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/244).
[4]. Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 16489) tahqiq Ahmad Syakir, Abu Dawud (no. 2369), an-Nasa-i (dalam al-Kubra no. 3144), Ibnu Majah (no. 1681), Ibnu Khuzaimah (no. 1964) dan Ibnu Hibban (no. 3533), keduanya telah menshahihkan hadits ini. Juga dishahihkan oleh Ahmad, al-Bukhari, dan Ali bin al-Madini. Lihat kitab Fat-hul Baari (IV/175), Nailul Authaar (IV/201).
[5]. Ibnu Qasim rahimahullah mengatakan: "....Dan tidak batal puasanya, kecuali dengan syarat dalam melakukannya dia sengaja dan ingat puasanya tetapi dia tetap melakukannya, maka dia harus mengqadha' puasanya, jika puasa yang dikerjakannya adalah wajib." Haasyiyah ar-Raudhil Murabbi' (III/398).
[6]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/257).


Hal-Hal Yang Membatalkan Dan Merusak Puasa : Hubungan Badan (Jima'), Keluarnya Mani

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN DAN MERUSAK PUASA : HUBUNGAN BADAN (JIMA'), KELUARNYA MANI


Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar



Puasa berarti menahan diri dengan disertai niat dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar (kedua-ed) sampai terbenamnya matahari.

Hal-hal yang membatalkan puasa itu adalah:
1. Hubungan badan (jima').
2. Keluarnya mani.
3. Makan dan minum.
4. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum.
5. Hijamah (bekam).
6. Muntah dengan sengaja.
7. Keluarnya darah haidh dan nifas.

Keterangan secara rinci tentang hal-hal tersebut dirangkum dalam beberapa pembahasan berikut ini:

Pembahasan 1
HUBUNGAN BADAN (JIMA')

Jika orang yang berpuasa melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan Ramadhan, maka puasanya batal dan dia harus bertaubat dan memohon ampunan sekaligus mengqadha' puasa pada hari di mana dia melakukan hubungan badan. Selain mengqadha', dia juga wajib membayar kaffarat, yaitu memerdekakan seorang budak. Jika dia tidak dapat memerdekakan budak, maka dia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu juga untuk menjalankan puasa selama dua bulan berturut-turut, maka dia harus memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu mudd gandum jenis yang bagus, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, beratnya adalah 562 1/2gram, karena satu sha' sebanding dengan berat 2 1/4kg atau selain gandum, yang biasa dijadikan makanan pokok.

Puasa dua bulan berturut-turut tidak bisa digantikan kepada pemberian makan, kecuali jika dia benar-benar tidak mampu menjalankan puasa tersebut karena halangan yang dibenarkan, misalnya jika dia menderita suatu penyakit atau dikhawatirkan munculnya penyakit padanya jika dia menjalankan puasa tersebut. Adapun orang yang merasa keberatan karena amalan puasa, maka hal itu tidak bisa dijadikan alasan baginya untuk pindah kepada pemberian makan kepada orang miskin.

Puasa dua bulan tersebut harus dikerjakan dengan berturut-turut dan tidak boleh terputus, kecuali jika ada halangan yang dibenarkan oleh agama, seperti adanya hari raya Idul Fithri atau Idul Adhha, hari-hari Tasyriq, waktu haidh dan nifas bagi wanita, serta sakit dan safar yang tidak di sengaja untuk meninggalkan puasa dua bulan berturut-turut.

Dan jika dia berbuka tanpa alasan yang dibenarkan meski hanya satu hari saja, maka dia harus memulai lagi puasa dua bulan itu dari awal sehingga benar-benar ada kesinambungan.

Dalil yang mengharuskan kaffarat itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Ketika kami tengah duduk-duduk di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seseorang yang mendatangi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, 'Wahai Rasulullah, celaka aku.' '‘Apa yang telah membuatmu celaka?' tanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia menjawab: 'Aku telah mencampuri isteriku sedang aku dalam keadaan berpuasa. 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: 'Apakah engkau bisa mendapatkan seorang budak dan kemudian memerdekakannya?' '‘Tidak, 'jawabnya. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi: 'Apakah engkau mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?' Dia menjawab: 'Tidak.'Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi: 'Dan apakah engkau memiliki bekal untuk memberi makan kepada enam puluh orang miskin?' Dia pun menjawab: 'Tidak. 'Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun terdiam. Dan ketika dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dengan membawa kantong yang berisi kurma, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Di mana orang yang bertanya tadi?' Orang itu menjawab: 'Aku.' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Ambil dan bershadaqahlah dengan kurma ini.' Kemudian orang itu berkata: 'Adakah orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di antara dua lembah ini keluarga yang lebih miskin dari keluargaku?' Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun tertawa sehingga gigi taringnya tampak. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: 'Beri makanlah keluargamu dengannya....'"[1]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: "(Masalah), ada yang mengatakan, 'Barangsiapa mencampuri isterinya pada kemaluannya, baik mengeluarkan sperma maupun tidak mengeluarkan sperma atau mencampurinya tidak pada kemaluannya lalu dia mengeluarkan sperma dengan sengaja atau lupa, maka dia harus membayar qadha' dan kaffarat, jika (dilakukan) pada bulan Ramadhan.'

Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa orang yang mencampuri isterinya pada bagian kemaluan, baik keluar sperma maupun tidak keluar atau bukan pada bagian kemaluan lalu dia mengeluarkan sperma, maka puasanya telah batal. Dan hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih." [2]

Pembahasan 2
MENGELUARKAN SPERMA DENGAN SENGAJA

Jika orang yang berpuasa mengeluarkan sperma dengan sengaja, baik melalui ciuman, sentuhan, onani, atau pun yang lainnya maka puasanya menjadi rusak, karena hal ini termasuk bagian dari syahwat yang bertentangan dengan puasa, dan dia wajib mengqadha'nya saja.

Adapun jika seorang laki-laki mencium atau menyentuh isterinya tanpa mengeluarkan sperma, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Tetapi, jika orang yang berpuasa itu takut dirinya akan mengeluarkan sperma jika mencium atau khawatir ciuman itu nantinya akan mengarah kepada hubungan badan karena ketidakmampuannya untuk menahan gejolak nafsunya, maka dia tidak boleh melakukan ciuman sebagai upaya menghindari sekaligus melindungi puasanya dari hal-hal yang merusaknya.

Sedangkan keluarnya sperma karena mimpi atau fikiran (hayalan) tanpa adanya tindakan fisik, maka hal itu tidak membatalkan puasanya, karena mimpi itu bukan atas keinginannya sedangkan fikiran itu insya Allah dapat dimaafkan. [3]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/29) dan Shahiih Muslim (III/139)).
[2]. Al-Mughni (IV/372), al-Hidaayah (I/122) karya al-Marghinani, Raudhatuth Thaalibin (II/356), Mawaahibul Jaliil (II/433), al-Furuuq (II/92) oleh al-Qurafi.
[3]. Fataawaa wa Rasaa-il Samaahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim (IV/190-191).


Alasan Yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa : Wanita : Haid, Nifas, Hamil, Menyusui

WANITA YANG SEDANG HAIDH DAN WANITA YANG SEDANG NIFAS, WANITA HAMIL DAN WANITA MENYUSUI, ORANG YANG SUDAH SANGAT TUA RENTA DAN ORANG YANG DIPAKSA

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pengantar Tentang Beberapa Alasan Yang Membolehkan Seseorang Untuk Tidak Berpuasa

Puasa merupakan ibadah yang cukup berat, dalam menjalankannya membutuhkan ketegaran dan kesabaran. Sebagian orang tidak sanggup menjalankannya. Dan untuk menjalankan Sunnah Islam yang berdiri di atas kemudahan dan peniadaan kesulitan dari umat manusia, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan keringanan kepada sebagian hamba-Nya untuk meninggalkan puasa serta membolehkan mereka untuk tidak berpuasa sebagai bentuk kasih sayang yang Dia berikan kepada mereka sekaligus sebagai upaya memberikan keringanan kepada mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Allah Jalla wa Ala telah memberikan keringanan kepada orang yang sakit, orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), orang yang sudah tua, wanita haidh, wanita yang sedang nifas, wanita hamil, wanita menyusui, dan lain-lain. Mereka itulah orang-orang yang boleh untuk tidak berpuasa dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan. Bahkan di antara mereka ada yang harus berbuka dan diharamkan baginya berpuasa, seperti wanita yang sedang haidh dan wanita yang sedang menjalani masa nifas. Ditambah lagi dengan orang yang makan dan minum karena lupa pada saat sedang berpuasa dan juga yang lainnya. Hal tersebut akan kami jelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya, insya Allah.

Pembahasan 5
WANITA YANG SEDANG HAIDH DAN WANITA YANG SEDANG NIFAS

Diharamkan bagi wanita yang sedang haidh atau tengah menjalani nifas untuk berpuasa. Jika keduanya tetap berpuasa, maka puasa keduanya tidak sah. Dalil yang menjadi dasar hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Bukankah jika dia haidh, dia tidak mengerjakan shalat dan tidak juga berpuasa? Yang demikian itu merupakan bentuk kekurangan agamanya."[1]

Tetapi keduanya harus mengqadha'puasa selama hari-hari yang dia tinggalkan dalam menjalani haidh atau nifas tersebut. Hal itu didasarkan pada firman-Nya: "Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."

Dan juga pada hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha yang di dalamnya disebutkan: "Kami pernah menjalani haidh pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat..." [2]

Perintah itu disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pemberi perintah secara mutlak.[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "Demikian juga telah ditetapkan melalui as-Sunnah dan kesepakatan ulama-ulama Islam bahwa darah haidh itu bertentangan dengan puasa sehingga wanita yang sedang haidh tidak boleh berpuasa, tetapi dia tetap berkewajiban mengqadha' puasa..."[4]

Jika ada darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita sedang dia dalam keadaan berpuasa meskipun sejenak sebelum matahari terbenam, maka puasanya pada hari itu batal dan dia harus mengqadha'nya.

Dan jika dia telah suci dari haidh pada siang hari di bulan Ramadhan, maka puasa yang dikerjakannya selama sisa waktu yang ada pada hari itu tidak sah, karena adanya sesuatu yang bertentangan dengan puasa pada hari itu.

Jika dia suci pada malam hari di bulan Ramadhan, meskipun sejenak sebelum fajar, maka dia wajib menjalankan puasa, karena ia sudah wajib menunaikannya. Dan tidak ada halangan untuk mengerjakannya meskipun dia belum sempat mandi, kecuali setelah terbit fajar, menurut pendapat yang shahih dari penjelasan para ulama. [5]

Pembahasan 6
WANITA HAMIL DAN WANITA MENYUSUI

Jika ada seorang wanita yang tengah hamil atau menyusui sedang ia khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila ia berpuasa, maka ia boleh untuk tidak berpuasa. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik al-Ka’bi Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah melepaskan kewajiban dari musafir setengah shalat dan puasa, serta dari wanita yang sedang hamil dan wanita yang menyusui dari puasa..." [6]

Wanita hamil dan wanita menyusui harus mengqadha' puasa yang ditinggalkan itu pada hari di mana dia mampu menjalankannya, serta tidak ada kekhawatiran pada dirinya, sebagaimana halnya orang yang sakit jika sudah sembuh.

Jika pada keduanya masih terdapat kekhawatiran terhadap anak keduanya sehingga mereka tidak berpuasa, maka selain qadha, keduanya juga harus membayar kaffarat, menurut pendapat yang shahih dari ungkapan para ulama.

Al-Qurthubi mengatakan, "....Ibnu Abbas mengatakan, 'Dan sebagai bentuk keringanan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada laki-laki dan wanita yang sudah tua sedang keduanya tidak mampu menjalankan puasa, maka keduanya boleh untuk tidak berpuasa, tetapi harus mengganti hal itu dengan memberi makan kepada satu orang miskin setiap harinya. Sedangkan wanita yang hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir terhadap anak keduanya, maka mereka boleh untuk tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan seorang miskin setiap hari..."[7]

Pembahasan 7
ORANG YANG SUDAH SANGAT TUA RENTA DAN ORANG YANG DIPAKSA

Para fuqaha rahimahullah telah menyebutkan sejumlah orang yang juga termasuk dari orang-orang yang mempunyai udzur (halangan) untuk tidak berpuasa selain dari orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya:

Pertama: Orang Yang Sudah Tua Renta
Yaitu orang yang kemampuan berfikirnya sudah hilang dan hilang pula kemampuannya untuk membedakan sesuatu, maka tidak wajib baginya untuk berpuasa dan tidak juga ada kewajiban baginya untuk memberi makan seorang miskin setiap hari sebagai gantinya. Yang demikian itu disebabkan karena telah gugurnya taklif (beban syari'at) dari dirinya dengan hilangnya kemampuan untuk membedakan sesuatu. Sehingga ia sama seperti anak kecil sebelum memiliki kemampuan untuk membedakan sesuatu (sebelum usia tamyiz). Dan jika dia seorang yang terkadang mampu membedakan sesuatu dan terkadang tidak mampu berfikir, maka dia masih diwajibkan berpuasa pada saat dia mampu membedakan sesuatu di luar ketidakmampuannya dalam berfikir.

Kedua: Orang yang Terpaksa Harus Tidak Berpuasa Karena Menghindarkan Bahaya Dari Orang Lain
Orang yang terpaksa harus berbuka (tidak berpuasa) karena menghindarkan bahaya dari orang lain, seperti tindakan seseorang menyelamatkan orang lain dari tenggelam, kebakaran, reruntuhan atau yang lainnya. Jika tindakan penyelamatan itu menuntut diri-nya untuk tidak berpuasa, maka dibolehkan baginya untuk tidak berpuasa.

Ketiga: Orang Yang Benar-Benar Dicekam Rasa Lapar Dan Haus
Orang yang benar-benar dicekam rasa lapar dan haus maka dibolehkan baginya untuk tidak berpuasa, sebagai upaya menghindari mudharat (bahaya) yang mungkin akan menimpanya jika berpuasa. Hal tersebut didasarkan pada beberapa dalil umum yang menafikan kesulitan dan diganti dengan kemudahan serta pencegahan dari hal-hal yang memberatkan.

Keempat: Orang Yang Dipaksa Untuk Tidak Berpuasa
Orang yang dipaksa untuk tidak berpuasa, di mana dia dipaksa oleh orang lain untuk makan atau minum, lalu dia melaku-kan hal tersebut dalam rangka menghindari mudharat dari dirinya, maka dia harus mengqadha' puasa yang ditinggalkan itu, dan tidak ada dosa baginya, insya Allah, dengan syarat orang yang memaksanya itu mampu menghilangkan mudharat darinya meskipun dia tidak melakukannya. [8]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/31))
[2]. Shahiih Muslim (no. 335 (69)).-red.
[3]. Shahiih al-Bukhari dengan Fat-hul Baari (I/420).
[4]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/220).
[5]. Lihat kitab al-Mabsuuth (III/80), asy-Syarhush Shaghiir (II/242), Nihaayatul Muhtaaj (III/184), al-Inshaaf (III/283).
[6]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunan Abi Dawud (II/796) bab Ikhtiyaar al-Fithr), an-Nasa-i (Sunan an-Nasa-i (IV/190) bab Wadh’ush Shiyaam 'anil Hublaa wal Murdhi'), at-Tirmidzi (Sunan at-Tirmidzi (II/109) bab Maa Jaa-a fir Rukhshah lil Hublaa wal Murdhi'), Ibnu Majah (Sunan Ibni Majah (I/533) bab Maa Jaa-a fil Fithr lil Hublaa wal Murdhi'). Hadits ini dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dia mengatakan, "....Pada rawi Ibnu Malik tidak diketahui hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selain dari hadits ini." Ibnu Abi Hatim di dalam 'ilalnya mengatakan: "Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang masalah itu -yakni hadits tersebut- maka dia berkata, 'Masih terjadi perbedaan pendapat mengenai hal tersebut, dan yang benar adalah dari Anas bin Malik al-Qusya-iri." Lihat Sunan at-Tirmidzi (II/109), juga Tahdziibut Tahdziib (I/379).
[7].Al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan karya al-Qurthubi (II/288) dan lihat kitab al-Majmuu' (VI/267).
[8]. Al-Mughni (IV/377), al-Inshaaf (III/312), asy-Syarhush Shaghiir (II/259), al-Majmuu’ (VI/329), Mughni al-Muhtaaj (I/430).


Alasan Yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa : Tidak Mampu Puasa Terus Menerus, Orang Sakit

ORANG YANG TIDAK MAMPU MENJALANKAN PUASA SECARA TERUS-MENERUS DAN TIDAK MUNGKIN BISA PULIH


Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pengantar Tentang Beberapa Alasan Yang Membolehkan Seseorang Untuk Tidak Berpuasa

Puasa merupakan ibadah yang cukup berat, dalam menjalankannya membutuhkan ketegaran dan kesabaran. Sebagian orang tidak sanggup menjalankannya. Dan untuk menjalankan Sunnah Islam yang berdiri di atas kemudahan dan peniadaan kesulitan dari umat manusia, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan keringanan kepada sebagian hamba-Nya untuk meninggalkan puasa serta membolehkan mereka untuk tidak berpuasa sebagai bentuk kasih sayang yang Dia berikan kepada mereka sekaligus sebagai upaya memberikan keringanan kepada mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Allah Jalla wa Ala telah memberikan keringanan kepada orang yang sakit, orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), orang yang sudah tua, wanita haidh, wanita yang sedang nifas, wanita hamil, wanita menyusui, dan lain-lain. Mereka itulah orang-orang yang boleh untuk tidak berpuasa dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan. Bahkan di antara mereka ada yang harus berbuka dan diharamkan baginya berpuasa, seperti wanita yang sedang haidh dan wanita yang sedang menjalani masa nifas. Ditambah lagi dengan orang yang makan dan minum karena lupa pada saat sedang berpuasa dan juga yang lainnya. Hal tersebut akan kami jelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya, insya Allah.

Pembahasan 3
ORANG YANG TIDAK MAMPU MENJALANKAN PUASA SECARA TERUS-MENERUS DAN TIDAK MUNGKIN BISA PULIH

Orang yang tidak mampu menjalankan puasa secara terus-menerus dan tidak mungkin bisa pulih seperti orang yang sudah tua atau orang yang menderita penyakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, yaitu melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh dokter muslim yang ahli, amanah dan dapat dipercaya dalam hal agamanya. Maka pada saat itu tidak ada kewajiban bagi orang yang tidak mampu tersebut untuk menjalankan puasa, karena dia tidak mampu menjalankannya, dan tidak ada taklif (beban) baginya atas sesuatu hal yang dia tidak mampu menjalankannya.

Allah Ta'ala berfirman:

"Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kesanggupan kalian." [At-Taghaabun: 16]

Dan Dia juga berfirman:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." [Al-Baqarah: 286]

Setiap kali orang yang tidak mampu itu tidak berpuasa, maka dia harus memberi makan setiap hari satu orang miskin, karena Allah Jalla wa Ala menjadikan pemberian makan sebanding dengan puasa ketika diberikan pilihan antara keduanya. Yang pertama diwajibkan adalah berpuasa sehingga berubah menjadi pengganti baginya pada saat tidak mampu, karena ia sebanding dengan puasa. [1]

Al-Bukhari rahimahullah mengatakan: "Adapun orang yang sudah tua renta, jika ia tidak mampu menjalankan puasa, maka sesungguhnya Anas pernah memberikan makan roti dan daging setiap harinya kepada satu orang miskin setelah satu atau dua tahun dia menjadi tua (tidak mampu berpuasa). Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu mengatakan bahwa seorang laki-laki yang sudah tua dan seorang wanita yang juga sudah tua yang keduanya sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka keduanya harus memberi makan satu orang miskin setiap harinya." [2]

Kepada orang yang sudah tidak mampu menjalankan puasa ini diberikan pilihan dalam memberikan makanan ini ; dia bisa memberikannya dalam bentuk bahan mentah kepada setiap orang miskin sebanyak satu mudd gandum terbaik yang beratnya 562 1/2 gram -karena kita memilih bahwa satu sha' itu beratnya 2 1/4 kilogram- dan boleh juga dia menyediakan makan dan kemudian mengundang orang-orang miskin sebanyak hari-hari yang dia tinggalkan. Jika dia tidak berpuasa selama 30 hari, maka dia harus mengundang 30 orang miskin. Jika dia tidak berpuasa selama 20 hari, maka dia harus mengundang 20 orang miskin. Dan demikian seterusnya.

Pembahasan 4
ORANG SAKIT

Orang sakit yang masih bisa sembuh juga diberikan keringanan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk berbuka (tidak berpuasa) dan mengharuskan kepadanya untuk mengqadha' puasa yang dia tinggalkan itu.

Allah Ta'ala berfirman:

"(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka, jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain..." [Al-Baqarah: 184]

Dia juga berfirman:

"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Orang Yang Sakit Di Bulan Ramadhan Memiliki Tiga Keadaan:

Pertama, dia tidak merasa kesulitan untuk menjalankan puasa serta tidak juga puasa membahayakan dirinya, maka pada saat itu dia wajib berpuasa, karena dia tidak memiliki alasan yang membolehkan dirinya untuk tidak berpuasa.

Kedua, dia merasa kesulitan untuk menjalankan puasa, tetapi puasa tidak membahayakan dirinya sehingga dia tidak berpuasa. Saat itu tidak sepatutnya dia berpuasa, karena berpuasa pada saat itu berarti menolak keringanan yang diberikan oleh Allah Ta'ala sekaligus sebagai bentuk penyiksaan terhadap dirinya sendiri. Dan alhamdulillaah, taklif (beban) syari'at itu berdasarkan pada kemudahan sekaligus peniadaan kesulitan dan penolakan terhadap keberatan.

Ketiga, puasa akan membahayakan dirinya, sehingga dia harus tidak berpuasa dan tidak dibolehkan baginya untuk berpuasa. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta'ala:

"Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian." [An-Nisaa : 9]

Demikian juga firman-Nya:

"Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan..." [Al-Baqarah: 195]

Dan jika ada suatu penyakit menimpa seseorang pada saat bulan Ramadhan sedang dia dalam keadaan berpuasa, serta terlalu berat baginya untuk meneruskan puasa pada hari itu, maka dibolehkan baginya untuk tidak berpuasa (berbuka) karena adanya alasan yang membolehkan dirinya untuk tidak berpuasa.

Dan jika di akhir bulan Ramadhan dia sembuh sedang dia sudah terlanjur tidak berpuasa di awal siang karena alasan tersebut, maka puasanya pada hari itu tidak sah, karena dia telah berbuka di awal pagi hari itu. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, puasa berarti menahan diri dengan niat sejak terbit fajar kedua sampai matahari terbenam. Tetapi dia harus mengqadha' selama hari-hari yang ditinggalkannya itu, "Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."

Demikian juga jika berdasarkan diagnosa dan pemeriksaan dokter yang ahli dan agamanya dapat dipercaya, bahwa puasa dapat memperparah sakitnya atau menunda kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa sebagai upaya menjaga kesehatannya dan menghindari penyakit, tetapi dia tetap harus mengqadha' puasa selama hari-hari yang ditinggalkannya. [3]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Tafsiir Ibni Katsir (I/215) serta kitab Fat-hul Qadiir (I/180).
[2]. Lihat Shahiih al-Bukhari (VI/30), kitab at-Tafsiir.
[3]. Lihat kitab Haasyiyah Ibni Abidin (II/422), Bidaayatul Mujtahid (I/285), al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan karya al-Qurthubi (II/276), al-Umm (II/104), Majmuu' al-Fataawaa (VI/257), al-Inshaaf karya al-Mardawi (III/285) serta Majaalis Syahri Ramadhaan karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, hal. 33


Alasan Yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa : Musafir, Jarak Yang Membolehkan Tidak Berpuasa

M U S A F I R

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pengantar Tentang Beberapa Alasan Yang Membolehkan Seseorang Untuk Tidak Berpuasa

Puasa merupakan ibadah yang cukup berat, dalam menjalankannya membutuhkan ketegaran dan kesabaran. Sebagian orang tidak sanggup menjalankannya. Dan untuk menjalankan Sunnah Islam yang berdiri di atas kemudahan dan peniadaan kesulitan dari umat manusia, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan keringanan kepada sebagian hamba-Nya untuk meninggalkan puasa serta membolehkan mereka untuk tidak berpuasa sebagai bentuk kasih sayang yang Dia berikan kepada mereka sekaligus sebagai upaya memberikan keringanan kepada mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Allah Jalla wa Ala telah memberikan keringanan kepada orang yang sakit, orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), orang yang sudah tua, wanita haidh, wanita yang sedang nifas, wanita hamil, wanita menyusui, dan lain-lain. Mereka itulah orang-orang yang boleh untuk tidak berpuasa dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan. Bahkan di antara mereka ada yang harus berbuka dan diharamkan baginya berpuasa, seperti wanita yang sedang haidh dan wanita yang sedang menjalani masa nifas. Ditambah lagi dengan orang yang makan dan minum karena lupa pada saat sedang berpuasa dan juga yang lainnya. Hal tersebut akan kami jelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya, insya Allah.

Pembahasan 2
M U S A F I R

Dalam pembahasan ini terdapat lima bagian:
Bagian Pertama, dalil-dalil yang membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa.
Bagian Kedua, beberapa jenis perjalanan yang membolehkan pelakunya tidak berpuasa.
Bagian Ketiga, jarak perjalanan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa.
Bagian Keempat, manakah yang lebih utama, berpuasa atau tidak berpuasa ketika dalam perjalanan?
Bagian Kelima, berbuka puasa bagi orang yang berniat untuk bermukim di suatu negara.

Bagian Ketiga: Jarak Perjalanan yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa

Pembuat syari'at Yang Mahabijaksana telah menggantungkan qashar shalat dan pembolehan tidak berpuasa pada kemutlakan perjalanan tanpa batasan. Hanya saja ketika perjalanan itu menjadi tempat kesulitan, dan kesulitan itu tidak terjadi kecuali pada perjalanan yang panjang, maka para ulama rahimahullah telah berbeda pendapat mengenai batasan jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa.

Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa jarak perjalanan yang dibolehkan untuk tidak berpuasa adalah perjalanan selama dua hari penuh atau lebih, yang kira-kira setara dengan 80 kilometer (perjalanan zaman dahulu-ed.).

Ada juga yang berpendapat, bahwa jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa adalah perjalanan selama tiga hari.

Serta ada yang berpendapat bahwa jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa adalah satu hari saja.

Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwasanya tidak ada batasan dalam jarak perjalanan yang membolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi yang disebut perjalanan adalah menurut kebiasaan (anggapan masyarakat), maka dibolehkan di dalamnya untuk tidak berpuasa.

Yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena jarak dua hari perjalanan membutuhkan persiapan tersendiri dan secara lahiriah mengandung kesulitan (menurut penulis-ed.).

Pendapat ini yang menjadi pedoman sejumlah Sahabat dan Tabi'in. Dan itu pula yang menjadi pendapat tiga Imam; Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad, rahimahullah

Di dalam kitab Majmuu' Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "....Adapun ukuran perjalanan yang membolehkan qashar shalat dan berbuka, maka menurut madzhab Malik, asy-Syafi'i, dan Ahmad bahwa ia sejarak perjalanan dua hari dengan menaiki unta dan dengan berjalan kaki sejauh 16 farsakh [7], sebagaimana jarak antara Makkah dan 'Asfan atau Makkah dan jarak antara Jeddah. Abu Hanifah mengatakan, 'Perjalanan tiga hari.' Sedangkan sekelompok ulama Salaf dan Khalaf mengatakan, 'Bahkan orang yang melakukan perjalanan kurang dari dua hari boleh mengqashar dan tidak berpuasa. Dan inilah pendapat yang kuat.'" [8]

Bagian Keempat: Manakah yang Lebih Utama, Berpuasa atau Tidak Berpuasa Ketika dalam Perjalanan?

Yang terbaik bagi seorang musafir adalah mengerjakan yang paling mudah, berpuasa atau tidak berpuasa. Jika kedua-duanya dalam posisi yang sama, maka berpuasa adalah lebih baik, dengan beberapa alasan:

Pertama, karena ia lebih cepat untuk melepaskan diri dari kewajiban.
Kedua, akan lebih semangat baginya jika dia berpuasa bersama orang lain.
Ketiga, mengetahui keutamaan waktu.
Keempat, karena hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abud Darda' Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Kami pernah pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa perjalanan beliau pada hari yang panas sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa, kecuali Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan Ibnu Rawahah..." [9]

Dan jika seorang musafir merasa kesulitan untuk menjalankan puasa, maka dia boleh tidak berpuasa dalam perjalanan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tidak berpuasa ketika diberitahu bahwa para Sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa keberatan untuk menjalankan puasa.

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah pergi ke Makkah di tahun pembebasan kota Makkah pada bulan Ramadhan, di mana beliau berpuasa hingga ketika sampai di daerah Kira'al Ghamim, maka orang-orang pun berpuasa. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta dibawakan satu wadah air dan kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkatnya sehingga orang-orang melihatnya. Selanjutnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminumnya dan setelah itu ditanyakan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Sesungguhnya sebagian orang-orang tetap berpuasa." Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Mereka adalah pelaku kemaksiatan, mereka adalah pelaku kemaksiatan." [10]

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan: "Lalu dikatakan kepada beliau, sesungguhnya orang-orang telah keberatan menjalankan puasa. Dan orang-orang itu menunggu apa yang akan engkau kerjakan. Lalu beliau meminta dibawakan sewadah air setelah shalat Ashar." [11]

Dan jika seorang musafir telah tiba di negerinya di akhir puasa dalam keadaan tidak berpuasa, maka puasanya pada hari itu tidak sah, karena ia dalam keadaan tidak berpuasa sejak awal siang, sedangkan puasa yang wajib itu tidak sah dikerjakan, kecuali sejak fajar kedua terbit. Tetapi, apakah dia harus menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Sebagian di antara mereka mengatakan, dia harus menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu untuk menghormati waktu dan dia juga harus mengqadha' puasa, karena puasanya pada hari itu tidak sah. Sebagian ulama lainnya mengatakan, "Tidak ada kewajiban baginya untuk menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu, karena dia tidak memperoleh manfaat apa pun dari menahan diri pada waktu itu, karena kewajiban baginya hanyalah mengqadha'. Dan penghormatan terhadap waktu baginya telah hilang dengan dibolehkannya dia untuk tidak berpuasa sejak awal siang secara lahir maupun bathin.[12]

Inilah pendapat yang rajih, insya Allah. Tetapi makan dan minum yang dia lakukan tidak boleh diperlihatkan, karena alasan tidak berpuasanya itu tidak diketahui orang banyak sehingga dapat menimbulkan suuzhan (prasangka buruk) terhadap dirinya atau tindakannya itu akan diikuti oleh orang lain, khususnya orang-orang bodoh dan orang-orang yang memiliki kepribadian lemah.

Bagian Kelima: Berbuka Puasa Bagi Orang Yang Berniat Untuk Bermukim Di Suatu Negeri

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai masalah ini dengan perbedaan yang luas. Pendapat yang shahih adalah jika seseorang telah berniat untuk bermukim lebih dari empat hari maka dia harus berpuasa dan menyempurnakan shalat seperti para pemukim lainnya, karena terputusnya hukum-hukum safar pada dirinya, baik tinggalnya itu untuk belajar, berdagang atau aktivitas lainnya yang dibolehkan agama. Dan jika dia berniat untuk bermukim empat hari atau kurang dari itu atau dia bermukim untuk menunaikan suatu hal yang dia tidak mengetahui kapan selesainya, maka dia boleh tidak berpuasa, karena tidak terputusnya hukum safar pada dirinya. [13]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[7]. 1 farsakh sama dengan 3 mil dan 1 mil kira-kira sama dengan 1609 m.
16x3=48, 48x1609=77232, yakni lebih dari 77 km, sehingga kita genapkan menjadi 80 km.
[8]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/212). Dan perlu dicatat bahwa Syaikhul Islam kembali kepada pendapat terakhir yang tidak membatasi jarak, tetapi mengikatnya dengan kebiasaan atau anggapan yang berlaku (inilah sebenarnya pendapat terkuat dari seluruh pendapat yang ada-ed.).
[9]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/145))
[10]. Shahiih Muslim (no. 1114 (90)).-Pen.
[11]. Diriwayatkan oleh Muslim. (Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/232))
[12]. Al-Mabsuuth, karya as-Sarkhasi (III/58).
[13]. Lihat Badaa-i'ush Shanaa-i' (I/97), Bidaayatul Mujtahid (I/287), Majmuu' Fataawaa (VI/263), Mughni al-Muhtaaj (I/437), ar-Raudhul Murabbi' (III/372).


Alasan Yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa : Musafir, Dalil-Dalil Membolehkan Tidak Berpuasa

M U S A F I R

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pengantar Tentang Beberapa Alasan Yang Membolehkan Seseorang Untuk Tidak Berpuasa

Puasa merupakan ibadah yang cukup berat, dalam menjalankannya membutuhkan ketegaran dan kesabaran. Sebagian orang tidak sanggup menjalankannya. Dan untuk menjalankan Sunnah Islam yang berdiri di atas kemudahan dan peniadaan kesulitan dari umat manusia, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan keringanan kepada sebagian hamba-Nya untuk meninggalkan puasa serta membolehkan mereka untuk tidak berpuasa sebagai bentuk kasih sayang yang Dia berikan kepada mereka sekaligus sebagai upaya memberikan keringanan kepada mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Allah Jalla wa Ala telah memberikan keringanan kepada orang yang sakit, orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), orang yang sudah tua, wanita haidh, wanita yang sedang nifas, wanita hamil, wanita menyusui, dan lain-lain. Mereka itulah orang-orang yang boleh untuk tidak berpuasa dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan. Bahkan di antara mereka ada yang harus berbuka dan diharamkan baginya berpuasa, seperti wanita yang sedang haidh dan wanita yang sedang menjalani masa nifas. Ditambah lagi dengan orang yang makan dan minum karena lupa pada saat sedang berpuasa dan juga yang lainnya. Hal tersebut akan kami jelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya, insya Allah.

Pembahasan 2
M U S A F I R

Dalam pembahasan ini terdapat lima bagian:
Bagian Pertama, dalil-dalil yang membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa.
Bagian Kedua, beberapa jenis perjalanan yang membolehkan pelakunya tidak berpuasa.
Bagian Ketiga, jarak perjalanan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa.
Bagian Keempat, manakah yang lebih utama, berpuasa atau tidak berpuasa ketika dalam perjalanan?
Bagian Kelima, berbuka puasa bagi orang yang berniat untuk bermukim di suatu negara.

Bagian Pertama: Dalil-Dalil yang Membolehkan Seorang Musafir Untuk Tidak Berpuasa
Dibolehkan untuk tidak berpuasa bagi seorang musafir yang melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan. Hal tersebut didasarkan pada dalil al-Qur-an, as-Sunnah, ijma' dan juga logika.

Dalil-dalil dari al-Qur-an adalah:

1. Firman Allah Ta'ala:
"Maka, jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [Al-Baqarah: 184]

2. Firman Allah Ta'ala:
"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Demikianlah nash sharih (jelas) yang membolehkan seorang musafir tidak berpuasa, tetapi dia tetap berkewajiban untuk mengqadha' puasa sesuai dengan hari-hari yang ditinggalkannya itu. Dan pada ayat-ayat di atas terdapat penjelasan mengenai sebab tidak berpuasa, yaitu pemberian keringanan dan kemudahan kepada kaum muslimin.

Sedangkan dalil-dalil dari as-Sunnah adalah:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya Hamzah bin Amr al-Aslami pernah berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan -ia termasuk orang yang banyak berpuasa-?" Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.

"Jika mau, berpuasalah dan jika mau, kamu boleh tidak berpuasa..."[1]

2. Hadits yang diriwayatkan dari Abud Darda Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Kami pernah pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada beberapa perjalanan (yang ditempuhnya) pada hari yang panas sehingga beliau meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas matahari yang sangat terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa, kecuali Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Ibnu Rawahah..." [2]

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Dalam suatu perjalanan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat kerumunan orang dan seorang yang berteduh di bawahnya, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Mengapa orang ini?' Mereka menjawab, 'Dia sedang berpuasa.' Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.

'Bukanlah termasuk kebajikan jika berpuasa dalam per-jalanan.'" [3]

Hadits-hadits di atas merupakan dalil paling nyata yang membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa secara umum, meskipun terdapat perbedaan di kalangan ulama mengenai, mana yang lebih baik bagi seorang musafir, berbuka atau berpuasa?

Dan dalil dari Ijma' adalah sebagai berikut:

Kaum muslimin telah sepakat membolehkan berbuka (tidak berpuasa) bagi seorang musafir secara umum.

Di dalam kitab al-Majmuu', Imam an-Nawawi mengatakan, "....Jika perjalanannya itu jauh di atas jarak yang membolehkan qashar shalat, sedang perjalanannya itu bukan untuk maksiat, maka menurut ijma', dia boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan yang disertai dalil al-Qur-an dan as-Sunnah..." [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Dibolehkan bagi seorang musafir untuk tidak berpuasa, menurut kesepakatan umat, baik dia dalam keadaan mampu mengerjakan puasa maupun tidak, baik dia merasa keberatan untuk menjalankannya maupun tidak."

Adapun dalil secara logika adalah:

Dibolehkannya tidak berpuasa dalam perjalanan, karena perjalanan menjadi aktivitas yang banyak menghadapi kesulitan, sehingga diberikan keringanan kepada kaum muslimin dalam rangka menghilangkan kesulitan dan kesusahan tersebut.

Mahabenar Allah Yang Mahaagung atas firman-Nya:

"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Bagian Kedua: Beberapa Jenis Perjalanan yang Membolehkan Pelakunya Tidak Berpuasa

Dalam syarat perjalanan seseorang, tidak boleh bertujuan untuk menyiasati agar boleh tidak berpuasa. Jika dimaksudkan untuk itu, maka diharamkan baginya untuk tidak berpuasa, dan pada saat itu, hukum puasa baginya adalah wajib.

Para ahli fiqih rahimahullah telah bersepakat membolehkan berbuka dalam perjalanan yang hukumnya wajib, misalnya perjalanan jihad, haji dan umrah, sebagaimana yang menjadi pendapat Jumhur Ulama yang membolehkan tidak berpuasa dalam perjalanan yang hukumnya sunnat dan mubah, sebab keduanya berdekatan dengan wajib, karena adanya ketetapan tidak berpuasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat pulang dari perjalanan wajib dan kepulangan tersebut merupakan suatu hal yang mubah. Sedangkan perjalanan sunnat adalah perjalanan dalam rangka ketaatan kepada Allah.

Adapun perjalanan untuk kemaksiatan, maka (pendapat) para ulama terbagi dua, yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengharamkan berbuka. Contoh dari perjalanan itu adalah perjalanan menuju ke negeri kafir untuk mencari tempat-tempat prostitusi, obat-obatan terlarang, kejahatan, penjegalan, pencurian, dan orang yang sejalan dengan mereka yang berusaha menyebarkan kerusakan di muka bumi, serta mengganggu kehormatan dan harta orang-orang mukmin. [6]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/144))
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/145))
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/31) dan Shahiih Muslim (III/142))
[4]. Al-Majmuu' oleh an-Nawawi (VI/261). Lihat kitab Badaa-i'ush Shanaa-i' (I/93), Bidaayatul Mujtahid (I/3850) dan kitab al-Mughni (IV/406).
[5]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/210).
[6]. Lihat kitab Badaa-i'ush Shanaa-i (I/93), Bidaayatul Mujtahid (I/285), al-Majmuu' (VI/261), serta al-Mughni (IV/406).